BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagai teori, rekonstruksionisme
menaruh perhatian terhadap pendidikan dalam kaitan dengan masyarakat. Pendukung
rekonstruksionisme mengambil posisi bahwa pendidikan itu adalah institusi
sosial dan sekolah pun merupakan bagian dari masyarakat.
Secara khusus, pendukungnya
mengamati keadaan masyarakat Amerika pada khususnya dan masyarakat negara industri
pada umumnya karena dianggap mengalami perubahan tata kehidupan yang semakin
jauh dari yang diidam-idamkan. Perkembangan ilmu, teknologi, dan
industrialisasi telah memberikan sumbangan positif bagi kemanusiaan, seperti
peningkatan kesejahteraan, namun di lain pihak juga memberikan pengaruh
negatif. Masyarakat yang tenang, tenteram dan damai dalam artian yang wajar,
berangsur-angsur diganti oleh masyarakat yang coraknya tidak menentu, tiada
kemantapan, dan yang lebih penting dari itu lepasnya individu dalam
keterkaitannya dengan masyarakat serta adanya keterasingan.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan
filsafat pendidikan barat aliran rekonstruksionisme?
2.
Bagaimana pandangan
filosofis mengenai filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme?
3.
Bagaimana prinsip-prinsip
dalam filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme?
4.
Bagaimana signifikansi
filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme dalam aplikasi pendidikan menurut
perspektif filsafat pendidikan Islam?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk menjelaskan
pengeetian tentang filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme.
2.
Untuk menjelaskan pandangan
filosofis filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme.
3.
Untuk menjelaskan
prinsip-prinsip dalam filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme.
4.
Untuk mengetahui
signifikansi filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme dalam aplikasi
pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penjelasan Filsafat
Pendidikan Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme
berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam
konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern. Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg
pada tahun 1930.[2]
Pada dasarnya aliran rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan aliran
perennialisme dalam hendak mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya saja jalan
yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh perennialisme, tetapi
sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yaitu berusaha membina konsensus yang
paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam
kehidupan manusia – restore to the original form.
Untuk
mencapai tujuan itu, rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatan semua
orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam
suatu tatanan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses
pendidikan, rekonstruksioonalisme ingin “merombak tata susunan lama, dan
membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru”.[3]
Kaitannya dengan pendidikan, rekonstruksionisme menghendaki tujuan
pendidikan untuk meningkatkan kesadaran siswa mengenai problematika sosial,
politik dan ekonomi yang dihadapi oleh manusia secara global, dan untuk membina
mereka, membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan dasar agar bisa
menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Kurikulum dan metode pendidikan
bermuatan materi sosial, politik, dan ekonomi yang sedang dihadapi oleh
masyarakat. Termasuk juga masalah-masalah pribadi yang dihadapi oleh siswanya.
Kurikulumnya menggunakan disiplin ilmu-ilmu sosial dan metode ilmiah.
Peranan guru sama dengan pandangan progresivisme. Guru harus menjadikan
muridnya siap menghadapi persoalan-persoalan dalam masyarakat, membantu mereka
mengidentifikasi permasalahan, lalu meyakinkan bahwa mereka sanggup menghadapi
semua itu. Apabila ternyata mereka tidak sanggup, maka tugas guru adalah
membimbing mereka secara tepat. Guru harus tampil dalam membantu siswa
menghadapi persoalan dan perubahan. Guru harus memberi semangat terhadap
munculnya pemikiran yang berbeda sebagai sarana untuk membentuk alternatif
penyelesaian masalah. Karenanya, kepala sekolah sebagai agen utama bagi
perubahan sosial, politik dan ekonomi masyarakat.[4]
B.
Pandangan Filosofis
Filsafat Pendidikan Aliran Rekonstruksionisme
1.
Pandangan Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan
tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme
memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada di
mana dan sama di setiap tempat (Noor Syam, 1983: 306). Untuk mengerti suatu
realita beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju ke arah yang khusus
menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat di hadapan kita
dan ditangkap oleh panca indera manusia seperti hewan dan tumbuhan atau benda
lain disekeliling kita, dan realita yang kita ketahui dan kita hadapi tidak
terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang dipunyai dan tiap-tuap benda
tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai
substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari potensialitas menuju
aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan
terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui
bahwa tiap realita memiliki perspektif sendiri.
2.
Pandangan Epistemologi
Kajian epistemologi aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran
pragmatisme (progressive) dan perennialisme. Berpijak dari pola
pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu
dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses
pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu
pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indera maupun rasio sama-sama
berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi
pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat
dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri,
realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya
ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan
tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksistensi Tuhan (self
evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode
yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki.
Penalaran-penalaran memiliki hukum-huku
tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau
pengertiam yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang
membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence),
dengan jalan pemikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan
hubungan logis antara pemis mayor, premis minor dan kesimpulan (conclusion),
dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.
3.
Pandangan Aksiologi
Dalam proses interaksi sesama
manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia
dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan
tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian yang
merupakan kecenderungan manusia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope)
tentang pengertian “nilai” tidak terbatas.
Barnadib (1992: 69) mengungkapkan
bahwa aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas
supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi
berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi
(pancaran) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas
dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya.
Kemudian, manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan
keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila
tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk
memberi penentuan.[5]
C.
Prinsip-Prinsip dalam
Filsafat Pendidikan Aliran Rekonstruksionisme
1.
Masyarakat Dunia Sedang
dalam Kondisi Krisis, Jika Praktik-Praktik yang Ada Sekarang Tidak Dibalik
(Diubah secara Mendasar), Maka Peradaban yang Kita Kenal Ini Akan Mengalami
Kehancuran.
2.
Solusi Efektif Satu-Satunya bagi Persoalan-Persoalan Dunia
Kita adalah Penciptaan Tatanan Sosial yang Menjagat.
3.
Pendidikan Formal Dapat
Menjadi Agen Utama dalam Rekonstruksi Tatanan Sosial.
4.
Metode-Metode Pengajaran
Harus Didasarkan pada Prinsip-Prinsip Demokratis yang Bertumpu pada Kecerdasan
‘Asali Jumlah Mayoritas Untuk Merenungkan dan Menawarkan Solusi yang Paling Valid
bagi Persoalan-Persoalan Umat Manusia.
5.
Jika Pendidikan Formal
adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Solusi Sosial dalam Krisis Dunia Sekarang,
maka Ia Harus secara Aktif Mengajarkan Perubahan Sosial.[6]
6.
Penyesuaian diri dengan
tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh
dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
7.
Rekonstruksionisme menjelaskan akhir (akibat atau hasil) dan
proses.
8.
Pengalaman dan kegiatan
yang secara kontinu berkembang dan berubah tersebut merupakan bagian dari pendidikan.[7]
D.
Signifikansi Filsafat
Pendidikan Aliran Rekonstruksionisme dalam Aplikasi Pendidikan menurut
perspektif Filsafat Pendidikan Islam
1.
Tujuan Pendidikan
a)
Sekolah-sekolah rekonstruksionis
berfungsi sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi dan
politik dalam masyarakat.
b)
Tugas sekolah-sekolah
rekonstruksionis adalah mengembangkan ‘insinyur-insinyur’ sosial, warga-warga
negara yang mempunyai tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat masa
kini.
c)
Tujuan pendidikan rekonstruksionis
adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial,
ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan
mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk
mengatasi masalah tersebut.
2.
Pendidik
Pada aliran rekonstruksionisme
posisi pendidik harus membuat para peserta didik menyadari masalah-masalah yang
dihadapi umat manusia, mambantu mereka merasa mengenali masalah-masalah
tersebut sehingga mereka merasa terikat untuk memecahkannya. Guru harus
terampil dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan perubahan.
Guru harus menumbuhkan berpikir berbeda-beda sebaga suatu cara untuk
menciptakan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang menjanjikan
keberhasilannya.
Sedangkan pada filsafat pendidikan
Islam posisi pendidik sebagai father of spiritual (Bapak spiritual) yang
bertanggung jawab, di lingkungan pertama pendidik bagi anak-anak adalah orang
tua, kemudian di lingkungan kedua adalah guru. Para pendidik filsafat
pendidikan islam sangat bertanggug jawab pada siswa-siswanya, karena para
pendidik filsafat pendidikan Islam menganggap siswa-siswanya seperti anaknya
sendiri.
3.
Peserta Didik
Rekonstruksionisme memandang peserta
didik sebagai generasi muda yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun
masyarakat masa depan dan perlu berlatih keras untuk menjadi insinyur-insinyur
sosial yang diperlukan untuk membangun masyarakat masa depan.
Sedangkan filsafat pendidikan Islam
memandang peserta didik sebagai subjek dan objek dan orang yang sedang tumbuh
dewasa dalam proses pembelajaran.
4.
Kurikulum
Aliran rekonstruksionisme mengisi
kurikulum dengan mata-mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan
masyarakat masa depan.
Kurikulum banyak berisi
masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia, yang
termasuk di dalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik sendiri; dan
program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif.
Struktur organisasi kurikulum terbentuk dari cabang-cabang ilmu sosial dan
proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah.
Seperti yang telah dijelaskan di
atas, sumber ajaran dalam filsafat pendidikan Islam adalah Al-quran dan Hadits.
Maka kurikulum pun disesuaikan dengan kebutuhan manusia berdasarkan Al-quran
dan hadits.
5.
Metode Pembelajaran
1.
Bahan-bahan yang akan
digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa
bahan tertulis, yaitu Al-quran dan Hadits yang disertai pendapat para ulama
serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari pengalaman
empirik dalam praktek kependidikan.
2.
Metode pencarian bahan.
Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi
kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur
sedemikian rupa.
3.
Metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin
mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan
pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif,
dedukatif, dan analisa ilmiah.
4.
Pendekatan. Dalam
hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan
yang akan digunakan untuk membahas tersebut.[8]
BAB III
PENUTUP
v Kesimpulan
Ø
Filsafat pendidikan aliran
rekonstruksionisme adalah suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang berusaha
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
bercorak modern.
Ø
Pandangan dalam filsafat
pendidikan aliran rekonstruksionisme dari segi filosofis dibagi menjadi tiga,
yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi
Ø
Prinsip-prinsip filsafat
pendidikan aliran rekonstruksionisme meliputi perubahan secara mendasar,
penciptaan tatanan sosial yang menjagat, pendidikan formal sebagai agen utama
rekonstruksi tatanan sosial, metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip
demokratis, serta pendidikan formal harus secara aktif mengajrkan perubahan
sosial.
Ø
Signifikansi Filsafat
Pendidikan Aliran Rekonstruksionisme dalam Aplikasi Pendidikan menurut
perspektif Filsafat Pendidikan Islam meliputi tujuan pendidikan, pendidik,
peserta didik, kurikulum, dan metode pembelajaran.
v
Saran
Kami sebagai
penulis apabila dalam penulisan dan penyusunan ini terdapat kekurangan dan
kelebihan maka kritik dan saran dari pembaca
kami harapkan sehingga dalam pembuatan makalah yang selanjutnya lebih
baik dari yang sebelumnya kami hanyalah manusia biasa yang tidak lepas dari
kesalahan sehingga tanpa dukungan dan saran para pembaca sangat jauh bagi kami
untuk mencapai kesempurnaan.
Ø
Daftar Pustaka
§ Assegaf, Abdur
Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari
Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
§ Barnadib, Imam.
1996. Dasar-Dasar Kependidikan Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori
Pendidikan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
§ Gandhi HW, Teguh
Wangsa. 2013. Filsafat Pendidikan Madzhab-Madzhab Filsafat Pendidikan.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
§ Jalaluddin dan
Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan.
Jakarta: Gaya Media Pratama.
§ Knight, George
R. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Gama Media.
§ Zuhairini. 1995.
Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
§ Mashitha03.blogspot.com/2012/09/aliran-rekonstruksionisme-dalam-3299.html
[1]
Imam Barnadib, Dasar-Dasar Kependidikan Memahami Makna dan Perspektif
Beberapa Teori Pendidikan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), hlm. 41
[2]
Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan Madzhab-Madzhab Filsafat
Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 189
[3]
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm.
29
[4]
Abdur Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan
Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2011), hlm. 208-209
[5]
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan
Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. 98
[6] George
R. Knight, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hlm.
185-190
[7]
Abdur Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan
Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2011), hlm. 207-208
[8]
Mashitha03.blogspot.com/2012/09/aliran-rekonstruksionisme-dalam-3299.html,
diakses tanggal 16 Desember 2013 pukul 19.30
Tag :
MAKALAH
0 Komentar untuk "makalah Filsafat Pendidikan Aliran Rekonstruksionisme"