Mudharabah di dunia bank syariah merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Aplikasi mudharabah pada bank syariah cukup kompleks, namun secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank
2. Akad mudharabah antara bank dengan nasabah peminjam
Berikut ini uraian sekaligus tinjauan syar’i terhadap aplikasi tersebut:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank.
Aplikasinya dalam perbankan syariah adalah:
a. tabungan berjangka yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti tabungan qurban, tabungan pendidikan anak, dan sebagainya.
Sistem atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan fotokopi KTP, specimen tanda tangan, dan lain sebagainya.
Lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan anaknya, lalu disepakati nominal yang disetor setiap bulannya dan tempo pencairan dana.
Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi hasil dari usaha mudharabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa langsung memberikan hasil mudharabah secara kredit tiap akhir bulan.
b. Deposito biasa
Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal (dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya dana akan cair saat jatuh tempo.
Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka dan deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap Customer Service (CS)nya.
c. Deposito khusus (special investment)
Di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu. Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk ini.
Tinjauan hukum syar’i
Secara hukum syar’i, akad yang tertuang dalam formulir yang disediakan pihak bank cukup transparan dan lahiriahnya tidak ada masalah.
Adapun perbedaan sistem deposito/tabungan antara bank syariah dan bank konvensional adalah:
a) Pada akad
Bank Syariah sangat terkait dengan akad-akad muamalah syari’ah. Bank konvensional tidak terikat dengan aturan manapun.
b) Pada imbalan yang diberikan:
Bank syariah menerapkan prinsip mudharabah, sehingga bagi hasil tergantung pada:
• Pendapatan bank (hasil/laba usaha)
• Nominal deposito nasabah
• Nisbah (persentase) bagi hasil antara nasabah dan bank
• Jangka waktu deposito
Bank konvensional menerapkan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank. Di sinilah letak riba pada bank konvensional.
c) Pada sasaran pembiayaan
Bank Syariah terikat dengan usaha-usaha yang halal. Bank konvensional terjun dalam semua usaha yang halal maupun haram.
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu disoroti pada akad mudharabah antara penabung dan bank syariah, di antaranya adalah:
a. Bila terjadi kerugian pada usaha bank atau bank ditutup/bangkrut
Di sini muncul pertanyaan besar: Siapa yang menanggung kerugian dana simpanan para nasabah?
Jawabannya adalah sebagai berikut:
Semua bank, baik konvensional maupun syariah1 harus terikat dan dinaungi oleh sebuah lembaga independen yang resmi yaitu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Setiap bank mengasuransikan seluruh dana simpanan nasabah kepada lembaga tersebut, pihak bank yang membayar preminya. Bila terjadi kerugian/pailit pada pihak bank, maka LPSlah yang mengganti semua dana simpanan dari nasabah penabung paling banyak Rp 2 miliar (sesuai Peraturan Pemerintah No. 66 Th. 2008, red.).
Hakikat akad dengan kondisi di atas
Bila demikian kenyataan di lapangan yang tidak mungkin dipungkiri maka hakikat sesungguhnya adalah bukan akad mudharabah tetapi akad pinjaman (qiradh) yang karakteristik intinya adalah harus mengembalikan pinjaman, apapun yang terjadi.
Kesimpulannya, akad antara penabung dan bank syariah adalah riba/terlarang dengan alasan:
1) Pinjaman tersebut mengandung unsur bunga, dalam hal ini adalah bagi hasil yang dicapai.
Hakikatnya adalah penabung memberi pinjaman kepada pihak bank dengan syarat bunga dari persentase bagi hasil. Inilah hakikat dari riba jahiliah yang dikecam dalam Islam. Lihat makalah penulis di Kajian Utama Macam-macam Riba pada majalah Asy Syariah No. 28/III1428 H/2007 hal. 18.
2) Kerugian ditanggung mudharib (bank)
Ini menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i seperti telah diuraikan sebelumnya. Kerugian modal yang terjadi pada usaha mudharabah murni ditanggung modal bukan amil/mudharib.
3) Pihak bank terjatuh pada asuransi bisnis yang diharamkan dalam Islam. Lihat makalah penulis tentang asuransi di Kajian Utama majalah Asy Syariah Vol. III/29/1428 H/2007 yang berjudul Asuransi hal. 20-24.
b. Pembiayaan yang dilakukan pihak bank kepada nasabah peminjam
Di sini muncul pertanyaan:
- Apakah pembiayaan tersebut pada akad-akad yang syar’i?
- Fungsi bank dengan pihak peminjam sebagai apa? Shahibul maal ataukah wakil nasabah penabung?
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas diulas pada poin kedua, yaitu:
2. Akad mudharabah antara bank dan nasabah peminjam
Pada umumnya banyak bank syariah yang tidak mengalokasikan dana pembiayaan ke produk mudharabah dikarenakan risiko yang cukup tinggi, di antaranya:
a. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu tidak seperti yang disebut dalam akad
b. Lalai dan kesalahan nasabah yang disengaja
c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila dia tidak jujur.
Bank syariah lebih banyak mengalokasikan pembiayaan2 ke produk murabahah.
Pihak bank akan mengadakan akad dengan skema mudharabah dengan masalah melalui proses yang cukup ketat, di antaranya:
a. Melihat reputasi nasabah dalam dunia usaha
b. Melakukan pembiayaan pada usaha-usaha yang dapat diprediksi pendapatannya seperti:
- mudharabah dengan koperasi yang melakukan akad murabahah untuk memenuhi kebutuhan karyawannya.
- mudharabah dengan pihak yang bergerak di bidang rental officer.
c. Untuk usaha-usaha yang kurang bisa diprediksi pendapatannya, seringkalinya dialihkan ke akad murabahah. Pada akad mudharabah ini pihak bank bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan nasabah sebagai mudharib (amil)
Saat akad, nasabah dan bank melakukan kesepakatan tentang :
• Biaya yang dikeluarkan
• Nisbah (persentase) bagi hasil
Nisbah ini bisa berubah-ubah, misal: 3 bulan pertama 60:40, tiga bulan kedua 50:50.
• Tenggang waktu mudharabah
- pihak nasabah memberikan dokumen tentang reputasi dia, pendapatan usahanya, dan lain-lain yang dibutuhkan pihak bank
- setiap tiga bulan, pihak nasabah membayar kepada bank keuntungan usaha dengan membuat laporan realisasi pendapatan (LRD)
- Pada umumnya pihak bank tidak terlibat dalam usaha nasabah, pihak bank hanya terlibat dalam pembiayaan
- Akad mudharabah ini disertai adanya jaminan dari pihak nasabah.
Tinjauan hukum syar’i
Secara umum akad mudharabah yang terpapar di atas tidak ada masalah sebab akadnya adalah mudharabah dan keuntungan diambil dari laba usaha menggunakan nisbah (persentase). Sedangkan pada bank konvensional menggunakan akad qiradh (pinjaman) dengan syarat bunga yang ditetapkan. Ini jelas riba jahiliah yang dikecam dalam Islam.
Namun, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab:
a. Dari mana bank memperoleh modal pembiayaan sehingga disebut sebagai shahibul maal.
Jawabnya adalah sumber dana bank berasal dari:
- modal pemegang saham
- titipan (tabungan) dengan sistem wadi’ah yad dhamanah3
- investasi (tabungan) dari nasabah dengan sistem mudharabah.
Intinya, bank menghimpun dana dari nasabah-nasabah penabung selaku shahibul maal yang sesungguhnya. Jadi pada hakikatnya, pihak bank tidak memiliki modal hingga layak disebut pemilik modal (shahibul maal).
Kesimpulannya, bank hanyalah sebagai perantara/wakil para nasabah penabung untuk melakukan akad mudharabah dan yang lainnya dengan nasabah peminjam. Inilah yang disebut dengan istilah mudharabatul mudharib (مُضَارَبَةُ الْـمُضَارِبِ).
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, sistem ini diperbolehkan jika ada izin khusus dari nasabah penabung (shahibul maal) dan mudharib (bank) tidak mendapatkan laba mudharabah tapi hanya dapat ujratul wakalah (upah sebagai wakil) baik terlibat langsung dalam usaha atau tidak.
Alhasil, akad mudharabah ini terlarang dengan alasan berikut:
1. Tidak ada izin khusus dari para nasabah penabung pada umumnya.
2. Kenyataan yang terjadi, pihak bank mengambil keuntungan bukan upah wakalah. Walau pada praktiknya bank menggabungkan dana modal dalam satu pool dan hasil usaha digabung dari beragam akad dengan nasabah, baik itu murabahah, mudharabah, musyarakah, maupun ijarah.
b. Bila terjadi kerugian pada usaha nasabah di luar prediksi semua pihak, apakah modal/pembiayaan dari pihak bank harus dikembalikan?
Jawabannya adalah:
Secara prinsip mudharabah yang syar’i, kerugian yang terjadi selama bukan karena kelalaian dan kecerobohan amil murni ditanggung modal, dalam hal ini adalah bank. Amil tidak dibebani apapun kecuali dia rugi tidak dapat laba dari usaha tersebut.
Praktik yang terjadi di dunia bank syariah cukup beragam. Perlu diketahui, bahwa semua bank mempersyaratkan pada akad mudharabah, semua aset nasabah yang digunakan untuk usaha harus diasuransikan terlebih dahulu. Ini sebagai upaya pengamanan bilamana terjadi sesuatu di luar prediksi semua pihak.
1. Sebagian bank syariah langsung melakukan penyitaan aset nasabah yang mengalami kebangkrutan atau menuntut pengembalian modal mudharabah.
Tindakan ini sangat jelas menunjukkan bahwa kerugian ditanggung amil. Ini jelas menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, hakikat akad sesungguhnya bukan qiradh (mudharabah) tapi qardh (pinjaman) yang harus ada pengembalian pinjaman apapun yang terjadi pada pihak peminjam.
Kesimpulannya, akad mudharabah di atas termasuk dalam kaidah: “Setiap pinjaman yang ada unsur kemanfaatan adalah riba.”
Riba jahiliah yang sangat dikecam dalam Islam, kemanfaatan yang diperoleh pihak bank adalah laba usaha nasabah dengan nisbah bagi hasil. Wallahul musta’an.
2. Sebagian bank syariah tidak berani melakukan penyitaan secara langsung karena paham tentang konsekuensi akad mudharabah yaitu kerugian ditanggung bank. Mereka pun melakukan upaya lain yaitu kompromi (islah) dengan pihak nasabah. Misal: Meminta nasabah menjual aset yang ada.
Ujung-ujungnya sama dan itulah letak permasalahannya yaitu modal mudharabah kembali, kerugian ditanggung amil (nasabah).
Hukumnya pun sama dengan yang sebelumnya hanya beda teknis saja, yang satu main kasar, yang lain main halus. Kaidah para ulama:
الْعِبْرَةُ بِالْحَقَائِقِ لَا بِالْأَلْفَاظِ
“Yang dianggap adalah hakikatnya bukan bahasa (istilah)nya.”
Faedah
Bila usaha nasabah berikut asetnya terkena musibah (peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan/extraordinary, red.), seperti kebakaran yang menghanguskan, maka yang dilakukan oleh pihak bank adalah mengurus klaim dari perusahaan asuransi. Apabila klaim cair maka langsung masuk ke pihak bank untuk mengembalikan modal mudharabah, bila ada lebihnya baru masuk ke nasabah.
Upaya ini pun juga menunjukkan hasil yang sama yaitu modal harus kembali, kerugian ditanggung nasabah. Hukumnya juga sama dengan yang sebelumnya.
Catatan
Pihak bank biasanya memiliki alasan kenapa harus melakukan upaya-upaya di atas. Alasan mereka adalah: Pada saat pihak bank mengeluarkan pembiayaan untuk modal mudharabah dengan nasabah, pihak bank diharuskan untuk mempersiapkan “dana talangan”. Besar kecilnya dana tersebut tergantung kelancaran usaha nasabah.
- bila lancar maka dana talangannya 1 % dari pembiayaan
- bila tidak lancar maka dana talangan semakin diperbesar menjadi 5 %, 15 %, dan seterusnya.
- bila sampai sembilan bulan nasabah tidak membayarkan bagi hasil usaha maka dana talangannya menjadi 100 %.
Ini adalah ketentuan resmi dari Bank Indonesia (BI) untuk semua bank. Tujuannya supaya usaha nasabah yang tidak lancar tersebut bisa dihapuskan dan untuk kelancaran bank itu sendiri.
Jawabannya adalah:
1. Ketentuan di atas murni antara pihak bank dengan bank sentral (BI), tidak ada sangkut pautnya dengan nasabah.
2. Ketentuan akad mudharabah murni antara pihak nasabah dengan bank, tidak ada sangkut pautnya dengan BI.
3. Tindakan pihak bank membebankan dana talangan pada nasabah pada skema akad mudharabah, di luar dan menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i.
4. Penjualan aset nasabah atau pengambilan klaim dari perusahaan asuransi sebagai ganti dana talangan yang disediakan termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (An-Nisa’: 29)
Kesimpulan
Setelah uraian panjang di atas dapat disimpulkan bahwa AKAD MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH ADALAH RIBA DAN BERTENTANGAN DENGAN MUDHARABAH YANG SYAR’I.
Tidak ada bedanya bank syariah dengan bank konvensional, bahkan bank syariah bisa dikatakan lebih kejam dengan alasan:
1. Mengatasnamakan dirinya dengan syariah
2. Bunga yang didapatkan dari nasabah jauh lebih besar daripada yang didapat bank konvensional.
3. Bunga yang dia berikan kepada nasabah juga lebih besar daripada yang diberikan bank konvensional.
Untuk itu, diimbau kepada semua pihak terkait baik pemerintah (Depag/MUI), para bankir, dan lain-lain supaya lebih dalam mempelajari kembali semua sistem yang ada di perbankan syariah dengan bimbingan Islam yang benar: Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para ulama, agar penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada akad-akad bank syariah dapat ditiadakan dan dicarikan solusi syar’i terbaik sebagai gantinya.
Wallahul muwaffiq lish-shawab.
Maraji’
1. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Cet. I Darul Hadits Kairo-Mesir tahun 1416 H/1996 M.
2. Takmilah Al-Majmu’ Al-Muthi’I, cet. I Daar Ihyaut Turats Al-’Arabi, Beirut-Lebanon tahun 1422 H/2001 M.
3. Asy-Syarhul Mumti’, Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, cet. Daarul Atsar Kairo-Mesir, tanpa tahun.
4. Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrafiyah Al-Mu’ashirah, Dr. Abdullah bin Muhammad As-Sa’idi, Cet. I Daar Thayyibah KSA tahun 1420 H/1999 M.
5. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik, Muhammad Syafi’i Antonio Cet. 9, Gema Insani bekerjasama dengan Tazkia Cendekia, Rabi’ul Awwal 1426 H/April 2005 M.
6. Diskusi langsung dengan sejumlah karyawan aktif dari sejumlah bank syariah.
7. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, cet. IV, Ulin Nuha lil Intaj Al-I’lami, 1424 H/ 2003 M
8. Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz cet. II Dar Ishda’ Al-Mujtama’, tahun 1428 H
PRODUK MUDHARABAH DALAM BANK SYARI’AH
BAB I
PENDAHULUAN
Munculnya bank syari’ah maka propogandanya dikatakan sebagai bank bagi hasil. Hal ini dilakukan untuk membedakan bank syari’ah dangan bank konvensional yang beroperasional dengan sistem bunga. Namun praktik bank syari’ah belum sepenuhnya menggunakan sistem bagi hasil. Karena selain sistem bagi hasil masih ada sistem jual beli, sewa menyewa. Dengan demikian, bank syari’ah memiliki ruang gerak produk yang lebih luas dibandingkan dengan bank konvensional.
Dalam operasional bank Syariah, mudharabah merupakan salah satu bentuk akad pembiayaan yang akan diberikan kepada nasabahnya. Sistem dari mudharabah ini merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dalam penentuan kontraknya, harus dilakukan diawal ketika akan memulai akad mudharabah tersebut.
Prinsip bagi hasil merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank syari’ah secara keseluruhan. Secara syari’ah prinsip berdasarkan pada kaidah mudharabah akan berfungsi sebagai mitra baik dengan penabung demikian juga dengan pengusaha yang meminjam dana.
Dalam kontrak mudharabah ini, mudharib (si pengelola) harus menjalankan kewajibannya menjalankan usaha dengan cara sebaik-baiknya. Dalam menjalankan usaha, harus jelas dan sesuai dengan prisip syariah. Maka dari itu penulis ingin lebih jauh mengetahui bagaimana jalannya system pembiayan ini (mudharabah) dalam suatu operasional bank syariah secara jelas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AL-MUDHARABAH
Pada umumnya kata mudharabah berasal dari kata dharb, yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian dari memukul atau berjalan diatas yang maksudnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya.[1]
Sedangkan pengertian mudharabah yang secara teknis adalah suatu akad kerja sama untuk suatu usaha antara dua belah pihak dimana pihak yang pertama ( shahibul maal ) menyediakan seluruh modalnya dan sedangkan pihal yang lain menjadi pengelolanya.[2] Keuntungan dari usahanya tersebut secara Mudharabah akan dibagi hasilnya menurut kesepakatan yang telah disepakati pada perjanjian awal, dan apabila usaha tersebut mengalami kerugian maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh pihak pemodal selama kerugian tersebut bukan disebabkan kelalaian pengelola modal. Dan jika kerugian tersebut disebabkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola modal, maka pengelola modal yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang telah dialaminya.
Pengertian mudharabah secara definisi adalah suatu bentuk perniagaan di mana pemilik modal ( shahibul maal ) menyetorkan modalnya kepada seorang pengusaha yang sering disebut dengan ( mudharib ), untuk diniagakan dengan keuntungan yang akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan terdapat kerugian akan ditanggung oleh pemilik modal jika disebabkan olehnya, dan jika disebabkan oleh pengelola modal maka pengelola modal yang harus menanggung kerugian tersebut.
Pada hakikatnya pengertian dari mudharabah adalah suatu bentuk kerja sama antara shohibul maal dan mudhorib, dimana dana 100% dari shohibul maal. Sedangkan mudhorib hanya sebagai pengelola yang keuntungannya akan dibagi sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati di awal.
Mudharabah adalah salah satu akad kerja sama kemitraan berdasarkan prinsip berbagi untung dan rugi (profit and loss sharing principle), dilakukan sekurang-kurangnyaoleh dua pihak, dimana yang pertama memiliki dan menyediakan modal, disebut shohibul maal, sedang ke dua memiliki keahlian dan bertanggung jawab atas pengelolaan dana / menejemen usaha halal tertentu, disebut mudhorib.[3]
B. JENIS-JENIS AL-MUDHARABAH
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yaitu[4] :
1. Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara penyedia modal (shahibul maal) dan pengelola modal (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah yang akan digunakan untuk usahanya.
2. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah atau specified mydharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, yaitu mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat usahanya. Dengan adanya pembatasan tersebut seringkali mencerminkan kecenderungan umum shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usahanya.
C. LANDASAN SYARI’AH AL-MUDHARABAH
Pada dasarnya landasan dasar syari’ah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Landasannya tersebut terbagi menjadi tiga macam, yaitu[5] :
a . Al-Qur’an
... وءاخرون يضربون فى الأرض يبتغون من فضل الله ....
“… dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT …” (al-Muzzammil: 20)
فاء ذا قضيت الصلوة فا نتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله ....
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT …” (al-Jumu’ah: 10)
ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضلا من ربكم ...
“Tidak ada dosa ( halangan ) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu ….” (al-Baqarah: 198)
Ayat-ayat yang senada masih banyak yang terdapat dalam al-Qur’an yang dipandang oleh para fuqoha sebagai basis dari yang diperbolehkannya mudharabah. Kandungan ayat-ayat di atas mencakup usaha mudharabah karena mudharabah dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.
b . Al-Hadits
{ روى ابن عباس رضي الله عنهما انه قال : كان سيدنا العباس بن عبد المطلب إذا دفع المال مضاربة اشترط على صاحبه أن لايسلك به بحرا ولاينزل به واديا ولا يشترى به دابة ذات كبد رطبة فإن فعل ذلك ضمن فبلغ شرطه رسول الله صلى الله عليه و سلم فأجازه ن}
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib “jika memberikam dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berdahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw. Dan Rasulullah pun membolehkannya.” (HR Thabrani)
{ عن صالح بن صهيب عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ثلاث فيهن البركة البيع إلى أجل والمقارضة وأخلاط البر بالشعير للبيت لا للبيع }
Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijarah)
c. Ijma
Imam Zailai telah memyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatin secara mudharabah.
D. APLIKASI MUDHARABAH DALAM PERBANKAN
Mudharabah dalam perbankan syari’ah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Sedangkan pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada[6]:
a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, yaitu seperti tabungan haji, dan tabungan kurban, dan sebagainya;
b. Diposito biasa dan special, diposito special (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah, khusus untuk bisnis tertentu, misalnya saja dalam murabahah ataupun ijarah saja.
Sedangkan pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk[7]:
a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
b. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
Mudharabah juga dapat dilakukan dengan memisahkan atau mencampurkan dana mudharabah. Seperti dalam penjelasan dibawah ini, yaitu[8]:
a. Dana harta-harta lainnya, Pemisahan total antara dana mudharabah termasuk harta mudharib.
Teknik ini memiliki kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari teknik ini ialah bahwa pendapatan dan biaya dapat dipisahkan dari masing-masing dana dan dapat dihitung dengan tepat. Selain itu, keuntungan atau kerugian dapat dihitung dan dialokasikan dengan benar. Sedangkan kekurangan teknik ini terutama menyangkut masalah moral hazard dan preferensi invertasi seorang mudharib.
b. Dana mudharabah dicampur dan disatukan dengan sumber-sumber dana lainnya.
System ini menghilangkan munculnya masalah etika dan moral hazard seperti di atas, namun dalanm system ini pendapatan dan biaya mudharabah tercampur dengan pendapatan dan biaya lainnya.
Mudharabah dalam bank syari’ah terdapat manfaat dan risikonya, manfaat mudharabah tersebut terbagi menjadi lima, yaitu[9]:
1. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah semakin meningkat.
2. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank sehingga bank tidak pernah mengalami negative spread.
3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4. Bank akan lebih selktif dan hati-hati dalam mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah atau musyarakah ini berbeda dengan prinsip bungan tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan dari nasabah satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan resiko dari mudharabah, yaitu[10]:
1. streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak;
2. Lalai dan kesalahan yang disengaja;
3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah jika nasabah tidak jujur.
Selain manfaat dan resiko yang ada pada bank syari’ah, terdapat pula permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pembiayaan mudharabah. Berdasarkan teori perbankan kontemporer, prinsip mudharabah dijadikan sebagai alternatif penerapan sistem bagi hasil. Meskipun demikian, dalam praktiknya ternyata signifikansi bagi hasil dalam memainkan operasional investasi dana bank peranannya sangat lemah. Menurut beberapa pengamatan perbankan syari’ah, hal ini terjadi karena beberapa alasan, diantaranya[11]:
a. Standar moral
Terdapat anggapan bahwa standar moral ynag berkembang di kebanyakan komunitas muslim tidak memberi kebebasan penggunaaan bagi hasil sebagai mekanisme investasi.
b. Ketidakefektifan modal pembiayaan bagi hasil
Pembiayaan bagi hasil (mudharabah) tidak menyediakan berbagai macam kebutuhan pembiayaan dari ekonomi kontemporer.
c. Berkaitan dengan para pengusaha
Keterkaitan bank dengan pembiayaan sistem bagi hasil untuk membantu perkembangan usaha lebih banyak melibatkan pengusaha secara langsung daripada sistem lainnya pada bank konvensional. Bank syari’ah memerlukan informasi yang lebih rinci tentang aktivitas bisnis yang dibiayai dan besar kemungkinan pihak bank turut mempengaruhi setiap pengambilan keputusan bisnis mitranya.
d. Dari segi biaya
Pemberian pembiayaan berdasrkan sistem bagi hasil memerlukan kewaspadaan yang lebih tinggi dari pihak bank.
e. Segi teknis
Problem teknis menyangkut penggunaan sistem bagi haasil berkaitan dengan pihak bank, nasabah, perhitungan keuntungan.bank membutuhkan pengetahuan yang luas mengenai perilaku aktivitas ekonomi yang berguna untuk memprediksi keuntungan. Dari sisi nasabah, kebutahurufan masih menyelimuti dunia muslim.
f. Kurang menariknya sistem bagi hasil dalm aktivitas bisnis
Dalam dunia bisnis dan industri, biaya yang dikeluarkan dari dana-dana yang diperoleh berdasarkan sistem bagi hasil tidak diketahui secara pasti.
E. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUDHARABAH
Faktor yang mempengaruhi mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu[12]:
1. Faktor Langsung
Diantara faktor-faktor langsung yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil adalah investment rate, jumlah dana yang tersedia, dan nisbah bagi hasil (profit sharing ratio).
a. Investment rate merupakan presentase actual dana yang diinvestasikan dari total dana, jika bank menentukan investment rate sebesar 80 %, hal ini berarti 20% dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas.
b. Jumlah dana yang trsedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metode dibawah ini:
1) Rata-rata saldo minimum bulanan
2) Rata-rata total saldo harian.
Investment rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan akan menghasilkan jumlah dana actual yang digunakan.
c. Nisbah (profit sharing ratio)
1) Salah satu ciri mudharabah adalah nisbah yang hasur ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian;
2) Nisbah antara satu bank dengan bank lainnya dapat berdeda;
3) Nisbah juga dapat berdeda dari waktu ke waktu dalam satu bank, misalkan saja deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan;
4) Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dengan account lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh temponya.
2.Faktor Tidak Langsung
Faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi bagi hasil, yaitu:
a. Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah
1) bank dan nasabah melakukan share dalam dalam pendapatan dan biaya, pendapatan yang akan dibagi hasilkan merupakan pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya;
2) jika semua biaya ditanggung bank, maka hal ini disebut revenue sharing.
b. Kebijakan akunting (prinsip dan metode akuntansi)
bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.
F. CONTOH KASUS
1. Contoh kasus perhitungan dalam bank syari’ah, yaitu[13]:
Bapak Kevin mempunyai deposito Rp 10.000.000, dalam jangka waktu 1 bulan (1 Desember 2001 – 1 Januari 2002), dan nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank 57% : 43%. Jika keuntungan bank yang diperoleh untuk deposito 1 bulan per 31 Desember 2001 adalah Rp 20.000.000 dan rata-rata deposito jangka waktu 1 bulan adalah Rp 950.000.000, berapakah keuntungan yang harus diperoleh oleh bapak Kevin?
Jawab:
Keuntungan yang diperoleh bapak Kevin adalah:
(Rp 10.000.000 : Rp 950.000.000) x Rp 20.000.000 x 57% = Rp 120.000
2 . Contoh kasus perhitungan dalam bank kovensional, yaitu[14]:
Pada tanggal 1 Desember 2003, bapak rizal membuka deposito sebesar Rp 10.000.000, jangka waktu 1 bulan dengan tingkat bunga 9% p.a. Berapa bunga yang diperoleh bapak rizal pada saat jatuh tempo?
Jawab:
Bunga yang harus diperoleh bapak rizal adalah:
(Rp 10.000.000 x 31 hari x 9%) : 365 hari = Rp 76.438
Dari cotoh kasus di atas dapat disimpulkan, bahwa:
a. Perhitungan pada bank syari’ah, besar kecilnya pendapatan yang diperoleh deposan bergantung pada:
1) Pendapatan bank
2) Nisbah bagi hasil antara nasabah dengan bank
3) Nominal deposito nasabah
4) Rata-rata deposito untuk jangka waktu yang sama pada bank.
b. Sedangkan perhitungan pada bank konvensional, besar kecilnya pendapatan yang diperoleh deposanbergantung pada:
1) Tingkat bunga yang berlaku pada bank tersebut
2) Nominal deposito nasabah
3) Jangka waktu deposito.
Bank syari’ah pada dasarnya member keuntungan kepada deposan dengan pendekatan Financing to Deposit Ratio (FDR), sedangkan pada bank konvensional yaitu dengan pendekatan biaya, yang artinya dalam mengakui pendapatan bank syari’ah masih menimbang rasio antara dana pihak ketiga dan pembiayaan yang diberikan, serta pendapatan yang dihasilkan dari perpaduan antara dua faktor tersebut. Sedangkan dalam bank konvensional langsung menganggap semua bunga yang diberikan adalah biaya, tanpa harus membertimbangkan berapakah pendapatan yang dapat dihasilkan dari dana yang dihimpun tersebut,[15]
Dalam pembiayaan mudharabah tujuan yang utama adalah memperoleh keuntungan yang nantinya akan dibagi sesuai dengan kesepakatan yang biasa disebut dengan bagi hasil. Dimana, keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai dari kelebihan modal. Keuntungan adalah tujuan akhir dari mudharabah. Syarat keuntungan berikut harus dipenuhi[16]:
a. Harus untuk kedua pihak dan tidak ada satu pihak pun yang mengambil seluruhnya tanpa yang lainnya.
b. Bagian keuntungan proporsional dari tiap pihak harus diketahui pada waktu berkontrak dan harus sebagai presentasi dari keuntungan. Bagian pengelola harus sacara eksplisit ditanyakan pada watu berkontrak. Tetapi harus diketahui bahwa dibolehkan untuk menyesuaikan presentasi alokasi keuntungan diantara kedua pihak pada waktu berikutnya.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung bagian apapun darinya kecuali diakibatkan dari kesalahan yang disengaja atau lalai.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mudharabah adalah salah satu bentuk akad pembiayaan yang akan di berikan kepada nasabah dalam suatu Bank. secara umum Mudharabah terbagi kepada dua jenis, yaitu: Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
Dalam sistem Mudharabah ini akadnya adalah kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Manfaat dari Mudharabah ini adalah Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat
Akad Mudharabah harus bejalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’ah dimana si pengelola harus menjalankan usahanya dengan rasa tanggung jawab yang tinggi, sesuai dengan prisip Syari’ah dan berupaya agar usahanya tidak terjadi kerugian. Kerugian bisa di akibatkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Disebabkan oleh resiko bisnis;
2. Disebabkan oleh musibah atau bencana alam dan
3. Disebabkan oleh kelalaian atau penyimpangan yang dilakukan oleh sipengelola.
Apabila kerugian terjadi disebabkan oleh resiko bisnis dan bencana alam maka atas kerugian tersebut ditanggung sepenuhnya oleh si pemilik modal tetapi kalau kerugian itu terjadi disebabkan oleh kelalaian atau penyimpangan yang sengaja dilakukan oleh sipengelola maka, atas segala kerugian itu harus ditanggung oleh si mudharib sepenuhnya dan modal yang diberikan harus dikembalikan oleh mudharib sepenuhnya. Oleh karena itu untuk memperkecil kesempatan terjadinya kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau penyimpangan yang dilakukan oleh mudharib atau sipengelola maka, shahibul mal harus dapat membuat aturan atau peringatan yang dapat mengurangi kesempatan mudharib untuk melakukan tindakan yang merugikan.
Pembiayaan mudharabah dipengaruhi oleh faktor langsung dan faktor tidak langsung. Adapun tujuan akhir dari pembiayaan mudharabah adalah memperoleh keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ilmi, makhalul SM. Teori dan praktek lembaga mikro keuangan syari’ah. 2002. Yogyakarta: UII press.
Drs, Muhammad.M.Ag. Manajemen Bank Syari’ah. 2005. Yogyakarta, (UPP) AMPYKPN
Muhammad. Manajemen pembiayaan bank syari’ah. 2005. Yogyakarta: akademi manajemen perusahaan YKPN
Syafi’I Antonio, Muhammad. Bank Syari’ah: dari teori ke praktik.2001 Jakarta : gema insani press
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institute Bankir Indonesia. “Bank Syari’ah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional bank syari’ah”. 2002. Jakarta: Djambatan
________________________________________
A. Definisi Hawalah.
Al hawalah secara etimologi berarti pindah, seperti kita mengatakan pindah dari perjanjian. Dalam istilah syariah, hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.
Menurut Firdaus hawalah artinya suatu akad yang mengharuskan pemindahan utang dari yang bertanggung jawab kepada penanggung jawab yang lain. Aplikasi dari definisi ini seperti; si A berutang kepada si B sejumlah uang untuk dilunasi pada hari tertentu dan si A punya hak (mengutangi) si D sejumlah utangnya pada si B. Ketika jatuh tempo, si B menagih utang pada si A, tetapi si A saat itu tidak memilik uang tunai, lalu dia mengatakan, “ Pergilah pada si D, karena ia berutang padaku sejumlah utangku padamu”.
Secara operasional, Al-Jazairi pengalihan pinjaman ( hawalah) ialah pemindahan (pengalihan) utang dari pengutang kepada pengutang lainnya. Misalnya si A mempunyai piutang pada si B, dan pada saat yang sama, si A mempunyai utang kepada si C sejumlah piutangnya pada si B. Ketika si C menagih utangnya pada si A, si A berkata, “ Aku alihkan pembayaran utangku kepada si B, karena aku mempunyai piutang padanya sebesar utangku padamu dan ambillah uang tersebut darinya”. Jika si C (penerima pengalihan) menerima cara seperti itu, si A (pengalih pembayaran utang) tidak lagi mempunyai utang pada si C.
Wahbah al-juhaili berpendapat, hawalah adalah pengalihan kewajiban membayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berutang kepadanya atas dasar saling mempercayai.
Imam taqiyudin berpendapat, hawalah adalah pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.
Syihabudin al qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud hawalah adalah akad atau transaksi yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lainnya
B. Landasan Hukum Hawalah.
Imam bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw,bersabda,
مطل الغنى فاذا اتبع احدكم على ملي فليتبع
Artinya :“ Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Yang mampu atau kaya, terimalah hawalah itu.
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang menghawalahkan kepada orang kaya atau mampu, hendaklah ia menerima hawalah terseebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihawalahkan (muhal alaih). Dengan demikian haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima hawalah dalam hadits terseebut menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang mengutangkan (muhal) menerima hawalah. Adapun mayoritas ulama brpendapat bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Jadi, sunnah hukumnya menerima hawalah bagi muhal.
C. Rukun dan Syarat Hawalah.
Dalam pelaksanaan, hawalah harus memenuhi rukun dan syarat sebagai berikut
a. Orang yang memindahkan tanggungan utang (muhil).
b. Orang yang memberikan utang yang dipindahkan pelunasannya dari orang yang berutang padanya secara langsung (muhal).
c. Orang yang dipindahkan tanggungan utang padanya (muhal alaih)..
d. Harta yang diutang yang dialihkan( muhal bih)
e. Shighat.
Ulama hanafiyah berpendapat, bahwa yang menjadi rukun hawalah adalah ijab atau pernyataan dari pihak pertama atau muhil dan qabul atau pernyataan menerima hawalah dari pihak kedua al muhal dan pihak ketiga al-muhal alaih.
Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (muhil):
1. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Hawalah tidak sah bila dilakukan anak-anak meskipun ia sudah ia mengerti (mummayiz), ataupun dilakukan orang gila.
2. Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan hawalah maka akad itu tidak sah. Adapun persyaratan ini ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajibannya untuk membayar utang dialihkan kepada pihak lain.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak kedua ( muhal) sebagai berikut:
1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama.
2. Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hawalah. Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada yang sulit membayarnya, sedangkan menerima pelunasan utang itu merupakan hak pihak kedua.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak ketiga (muhal alaih) adalah:
1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama dan kedua.
2. Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (muhal alaih). Hal ini diharuskan karena tindakan hawalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketiga (muhal alaih) untuk membayar utang kepada pihak kedua (muhal) , sedangkan kewajiban membayar utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban itu hanya dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui akad hawalah.
3. Imam Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima akad harus dilakukan dengan sempurnaoleh pihak ketiga didalam suatu majelis akad.
Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (muhal bih) adalah:
1. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang telah pasti.
2. Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya, jika terjadi perbedaan waktu jatuh tempo pembayaran diantara kedua utang itu, maka hawalah tidak sah.
3. Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika diantara kedua utang itu terdapat perbedaan jumlah, misalnya utang uang, atau perbedaan kualitas misalnya utang dalam bentuk barang, maka hawalah itu tidak sah.
D. Macam-macam Hawalah.
Dalam pelaksanaannya, hawalah ada dua yaitu hawalah muthalaqoh dan muqayyadah,
1. Hawalah mutlaqoh adalah seseorang memindahkan utang pada yang lain tanpa memberikan keterangan bahwa orang tersebut harus membayar utangnya dari utang yang ada padanya.
2. Hawalah muqayyadah adalah seseorang memindahkan pembayaran utangnya pada orang lain, dari utangnya yang ada pada orang tersebut.
Hawalah muthalaqoh tidak diperbolehkan oleh para ulama, kecuali ulama hanafiyah, alasan ulama (tiga madzhab selain hanafiyah) yang melarang hawalah semacam ini adalah karena orang yang dipindahkan pembayaran utang (muhal alaih) tidak ada hubungannya dengan orang yang memindahkan utang (muhil). Artinya ia tidak mempunyai kewajiban yang harus ditanggung dan dibayarkan kepada muhil, sehingga jika hal ini terrjadi berarti bukan hawalah, melainkan kafalah.
Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah dibagi 2, yaitu :
1. Hawalah al-Haqq (pemindahan hak) Hawalah haqq adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain atau pemindahan hak untuk menuntut hutang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai muhil adalah pemberi hutang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
2. Hawalah ad-Dain (pemindahan hutang) Hawalah ad-dain adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah haqq, karena pengertiannya sama dengan hawalah yang telah diterangkan di depan yakni yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang.
E. Beban Muhil Setelah Hawalah.
Dalam buku fiqh sunnah,Sayyyid Sabiq mengatakan bahwa apbila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil menjadi gugur, andai kata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau menbantah adanya hawalah atau meninggal dunia maka pihak kedua (muhal) tidak boleh kembali lagi berurusan dengan pihak pertama (muhil) karena memeng utangnya telah dihawalahkan. Demikianlah pendapat jumhur ulama.
Berbeda dengan jumhur ulama, Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam keadaan muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang mengutangkannya (al muhal) boleh menagih utangnya lagi kepada pihak pertama ( muhil). Sementara madzhab maliki berpendapat apabila muhil telah menipu muhal ternyata muhal alaih adalah orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar , maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Dalam kitab al-muwatta Imam Malik menulis bahwa orang yang menghawalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajibannya, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.Perlu dikemukakan bahwa akad hawalah ini mempunyai jangka waktu berlakunya. Akad hawalah akan berakhir apabila :
1. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad hawalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya pembatalan akad itu pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama.
2. Pihak ketiga telah melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
3. Pihak kedua menghibahkan atau menyedahkan harta yang merupakan utang dalam akad hawalah itu kepada pihak ketiga.
4. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan itu.
5. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua. Dalam hal ini tentu beban utang pihak ketiga tersebut diperhitungkan dalam pembagian warisan.
F. Aplikasi Hawalah Dalam Dunia Perbankan.
Fikih kontemporer , khususnya dalam dunia perbankan, mengembangkan konsep hawalah ini dalam beberapa bentuk, antara lain bilyet giro cek bertempo. Dalam hal ini, kita cobntohkan seorang penulis buku yang mendapatkan royalti dari sebuah penerbit. Ketika jatuh tempo membayar royalti, penerbit memberikan giro yang berisi jumlah uang tertentu yang bisa dicairkan antara penerbit dan bank. Dalam kasus ini, penerbit adalah muhil, kemudian bank sebagai muhal alaih dan penulis sebagai muhal.
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
1. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
2. Post dated check.
3. Bill discounting. Secara prinsip serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahsan fee tidak didapati pada akad hawalah.
Daftar Pustaka.
• Muhammad Syafii Antonio, Islamic Banking( Bank Syariah dari Teori ke Praktik),Jakarta; Gema Insani.2001
• Prof.Dr.H.Ismail Nawawi,MpA,M.Si, fikih muamalah klasik dan kontemporer , Bogor ; Ghalia indonesia.2012
• Prof.DR.H.Abdul Rahman Ghazaly,M.A,fikih muamalat, Jakarta; Kencana Prenada Media Group,2010.
• http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2148108-macam-macam-hiwalah/#ixzz2SE9WwJEt diunggah pada tanggal 3 Mei 2013 jam 17.40.
Penghimpun dan Penyaluran Dana pada BMT (Baitul Mal Wa Tamwil)
A. Baitul Maal Wa Tamwil
BMT adalah salah satu Lembaga Keuangan Mikro Syariah Non Bank yang hadir di tengah-tengah masyarakat saat ini. Dalam operasional usahanya hampir mirip dengan perbankan yaitu melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan, serta memberikan jasa-jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat.Secara umum produk BMT dalam rangka melaksanakan fungsinya tersebut dapat diklasifikasikan menajdi empat hal, yaitu :
1.Produk penghimpunan dana ( funding )
2.Produk penyaluran dana (lending )
3.Produk jasa
4.Produk tabarru’: ZISWAH (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, dan Hibah)
[1]Kegiatan operasional BMT diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Fungsi utama DPS yaitu sebagai penasehat, pemberi saran, pemberi fatwa kepada pengurus dan pengelola mengenai hal-hal yang terkait dengan syariah seperti penetapan produk (Ridwan, 2004). Dengan demikian produk yang dikeluarkan oleh BMT harus mendapatkan persetujuan dari DPS terlebih dahulu. Selain itu DPS berfungsi sebagai mediator antara BMT dengan Dewan Syariah Nasional atau Dewan Pengawas Syariah Propinsi. Menurut AD/ART BMT pasal 15, BMT tunduk pada keputusan-keputusan Dewan Pengawas Syariah PINBUK pusat, Dewan Pengurus Syariah PINBUK propinsi, dan Dewan Pengawas Syariah PINBUK kabupaten/kota serta Dewan Pengawas Syariah BMT.
Dewan Pengawas Syariah merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Karenanya fatwa DSN menjadi bagian dari pengawasan syariah oleh DPS. Dengan demikian yang paling berwenang dalam merumuskan fatwa mengenai sistem keuangan syariah adalah DSN. Sedangkan DPS hanya berfungsi sebagai pelaksana atas fatwa tersebut.
Aktivitas utama lembaga keuangan adalah mengoptimalkan penghimpunan dana dari masyarakat. Disamping sebagai polling likuiditas, penghimpunan dana masyarakat ini juga mempunyai misi untuk mendidik atau menumbuhkan budaya menabung pada masyarakat,teutama bagi kalangan informal dan mikro. Dengan tersedianya dana Wadi’ah Dan mudharabah yang cukup dan stabil akan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi BMT untuk melakukan penyaluran dana. [2]
B. Produk Perhimpunan Dana (Funding)
Untuk mendirikan sebuah Lembaga Keuangan Mikro Syariah, kita perlu memiliki modal awal. Modal Awal tersebut bersumber dari dana usaha. Dana-dana ini dapat bersumber dari dan diusahakan oleh LKMS, misalkan dari Modal Sendiri, Modal Penyertaan dan Dana Amanah. Modal Sendiri didapat dari simpanan pokok, simpanan wajib, cadangan, Hibah, dan Donasi, sedangkan Modal Penyerta didapat dari Anggota, bank, penerbitan obligasi dan surat utang serta sumber lainnya yang sah. Adapun Dana Amanah dapat berupa simpanan sukarela anggota, dana amanah perorangan atau lembaga.
Penghimpunan dana LKMS bersumber dari :
1. Simpanan Pokok
Simpanan pokok merupakan modal awal anggota yang disetorkan dimana besar simpanan pokok tersebut sama dan tidak boleh dibedakan antara anggota. Akad Syariah simpanan pokok tersebut masuk katagori akad Musyarakah. Konsep pendiriannya tepatnya menggunakan konsep Syirkah Mufawadhoh yakni sebuah usaha yang didirikan secara bersama-sama dua orang atau lebih, masing-masing memberikan kontribusi dana dalam porsi yang sama dan berpartisipasi dalam kerja dengan bobot yang sama pula. Masing-masing partner saling menanggung satu sama lain dalam hak dan kewajiban. Dan tidak diperkenankan salah seorang memasukan modal yang lebih besar dan memperoleh keuntungan yang lebih besar pula dibanding dengan partner lainnya.
2. Simpanan Wajib
Simpanan wajib masuk dalam katagori modal lkms sebagaimana simpanan pokok dimana besar kewajibannya diputuskan berdasarkan hasil syuro (musyawarah) anggota serta penyetorannya dilakukan secara kontinyu setiap bulannya sampai seseorang dinyatakan keluar dari keanggotaan.
3. Simpanan Sukarela
Simpanan anggota merupakan bentuk investasi dari anggota atau calon anggota yang memiliki kelebihan dana kemudian menyimpannya di LKMS.
Jumlah dana yang dapat dihimpun melalui BMT sesungguhnya tidak terbatas. Namun demikian, BMT harus mampu mengidentifikasi berbagai sumberdana dan mengemasnya ke dalam produk-produknya sehingga memiliki nilai jual yang layak. Prinsip simpanan di BMT menganut akad wadi’ah dan mudharabah.
1) Prinsip Titipan(Wadi’ah)
Wadi’ah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan atau meletakkan sesuatu kepada orang lain untuk dipelihara dan dijaga. Dari aspek teknis wadia’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lainnya, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip kehendaki.
- Landasan Hukum
Artinya: “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.(QS. An nisaa(4):58). [3]
Simpanan/tabungan yang berakad wadiah ada dua, antara lain:
a) Wadiah al-Amanah
yaitu akad yang menyatakan bahwa penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang yang dititipkan. Tetapi harus tetap menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai penitipan. Wadi’ah Amanah yang dimaksud disini biasanya berupa dana ZIS (Zakat,infak dan shadaqoh) yang dimiliki oleh 8 asnaf mustahik dan disalurkan baik dalam bentuk mustahik produktif maupun konsumtif.
b) Wadi’ah Yad Dhamanah
Wadi’ah Yad Dhamanah dapat diartikan sebagai titipan murni dimana dana yang dititipkan boleh digunakan (diambil manfaatnya) oleh penitip. Penyimpan mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap kehilangan dana tersebut. Semua keuntungan yang diperoleh dari titipan tersebut menjadi hak penerima titipan. Sebagai imbalan kepada pemilik dana dapatdiberikan semacam insentif berupa bonus yang tidak disyaratkan sebelumnya. [4]
“ Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta, maka diberikannya unta qurban. Setelah selang beberapa waktu Abu Rafie diperintahkan Rasulullah untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali berbalik menghadap Rasulullah seraya berkata “ Ya Rasulullah untuk yang sepadan tidak kami temukan, hanya untuk yang lebih besar dan berumur empat tahun” Rasulullah SAW membalas sambil berkata “ Berikan itu karena
sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar”
Pada sistem operasional LKMS, pemilik dana menanamkan uangnya di LKMS tidak dengan motif mendapatkan bunga, tetapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil.
Dalam hal ini Produk penghimpunan dana lembaga keuangan syariah (Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003) yang menjadi bagian dari simpanan wadi’ah yaitu ;
- Giro Wadiah
Giro Wadiah adalah produk simpanan yang bisa ditarik kapan saja. Dana nasabah dititipkan di LKMS dan boleh dikelola. Setiap saat nasabah berhak mengambilnya dan berhak mendapatkan bonus dari keuntungan pemanfaatan dana giro oleh LKMS. Besarnya bonus tidak ditetapkan di muka tetapi benar-benar merupakan kebijaksanaan LKMS. Sungguhpun demikian nominalnya diupayakan sedemikian rupa untuk senantiasa kompetitif (Fatwa DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/IV/2000). [5]
2 . Prinsip Mudharabah
Mudharabah adalah salah satu akad kerjasama kemitraan berdasarkan prinsip berbagi untung dan rugi, dilakukan sekurang-kurangnya oleh dua pihak, dimana pihak pertama memiliki dan menyediakan modal, disebut shahibul mal , sedang yang kedua memiliki keahlian (skill) dan bertanggung jawab atas pengelolaan dana/manajemen usaha (proyek) tertentu, disebut mudharib .
Dalam kerangka penghimpunan dana mudharabah, nasabah bertindak sebagai shahibulmal dan BMT sebagai mudharib. BMT dapat menawarkan produk penghimpunan dana mudharabah ini kepada masyarakat dengan menunjukkan cara-cara penentuan dan perhitunganporsi bagi hasilnya, dan perlu dicatat, BMT tidak diperkenankan menjanjikan pemberian keuntungan tetap perbulan dalam jumlah tertentu dengan sistem persentase sebagaimana lazim berlaku dalam tatanan perbankan konvensional, atau dalam jumlah tertentu atas dasar kalkulasi angka-angka rupiah.Dalam Penghimpunan Dana beprinsip Mudharabah ini akad yang digunakan, yaitu:
a. Mudharabah Mutlaqah (Investasi Tidak Terikat)
Tujuan utama shahibul mal menempatkan dana di Lembaga Keuangan adalah untuk mendapatkan hasil/keuntungan (Profit Oriented), artinya nasabah menempatkan dana di BMTdengan konsep investasi. Konsekuensinya, nasabah harus bisa mengikuti aturan atau ketentuanatau batasan yang sudah ditetapkan oleh BMT sebagai pengelola dana (Mudharib) agar dana mereka bisa menghasilkan atau produktif.
Sesuai dengan ketetentuan Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003 mengenai produk perhimpunan dana Lembaga Keuangan Syari’ah , dimana mudharabah Mutlaqah menggunakan dua aplikasi LKMS yaitu:
1. Tabungan Mudharabah
Dana yang disimpan nasabah akan dikelola LKMS, untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan akan diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan nasabah. Nasabah bertindak sebagai shahibul mal dan lembaga keuangan syariah bertindak sebagai mudharib (Fatwa DSN-MUI No. 02/DSN-MUI/IV/2000).
2. Deposito Mudharabah
LKMS bebas melakukan berbagai usaha yang tidak bertentangan dengan syariah dan mengembangkannya. LKMS bebas mengeola dana (Mudharabah Mutaqah). LKMS berfungsi sebagai mudharib sedangkan nasabah juga shahibul maal. Ada juga dana nasabah yang dititipkan untuk usaha tertentu. Nasabah memberi batasan penggunn dana untuk jenis dan tempat tertentu. Jenis ini disebut Mudharabah Muqayyadah.
b. Mudharabah Muqayyadah(Investasi terikat)
dimana nasabah mempercayai BMT sebagai Lembaga Keuangan yang kompeten, bisa dipercaya serta bisa memproduktifkan dana mereka, tanpa harus mengetahui secara detail pengelolaan/penggunaan dananya atau dengan kata lain memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada mudharib dalampengelolaan investasinya. Dana Investasi Tidak Terikat ini diaplikasikan dalam bentuk produk Simpanan/Tabungan dan Deposito (Simpanan Berjangka).
C. Penyaluran Dana(Lending)
Produk penyaluran dana yang disediakan oleh BMT bisa mendasarkan pada akad-akad tradisional Islam, yakni akad jual beli, akad sewa menyewa, akad bagi hasil dan akad pinjam meminjam.Dalam kegiatan penyaluran dananya, secara garis besar pembiayaan BMT dapat dibedakan menurut tujuan penggunaannya, yaitu:
1. Jual beli
Jual beli adalah akad antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli dimana objeknya adalah barang dan harga. Penerapan akad jual beli ini dalam transaksi BMT tampak dalam produk pembiayaan murabahah, salam, dan istishna. Adapun pengertian dari jenis –jenis pembiayaan tersebut adalah sebagai berikut:
b. Murabahah, yaitu jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah margin keuntungan yang telah disepakati.
c. Salam, yaitu jual beli barang dengan pemesanan dengan syaratsyarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
d. Istishna, yaitu jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang telah disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
2.Bagi hasil
Implementasi dari akad bagi hasil dalam transaksi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) inilah yang lebih dikenal di masyarakat karena memang fungsinya sebagai pengganti bunga. Dalam prakteknya BMT dapat menggunakan akad ini dalam dua sisi sekaligus, yaitu sisi penghimpunan dana (funding) dan sisi penyaluran dana (lending).
Adapun pengertian dari jenis-jenis pembiayaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih,pihak pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan suatu modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu akad atau perjanjian keuntungan. Bentuk kerjasama ini berupa modal 100% dari shahibul maal dengan keahlian dari mudharib.
b. Pembiayaan Musyarakah
Produk Pembiayaan Musyarakah Pada prinsipnya produk ini tidak banyak berbeda dengan mudharabah, karena keduanya merupakan bagian dari kemitraan antara dua pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha halal tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang disepakati bersama di awal perjanjian. Yang membedakan antara mudharabah dan musyarakah salah satunya terdapat dalam sistem penyertaan modal.
3. Sewa-Menyewa
Sewa menyewa yaitu perjanjian yang objeknya merupakan manfaat atassuatu barang atau pelayanan, sehingga bagi pihak yang menerima manfaat berkewajiban membayar uang sewa/upah (ujrah). BMT menggunakan akad ini dalam produk penyaluran dana berupa pembiayaan ijarah dan pembiayaan ijarah muntahia bit tamlik. Adapun pengertian dari jenis-jenis pembiayaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ijarah
Transaksi ijarah yaitu adanya perpindahan manfaat. Pada intinya prinsip ini sama saja dengan prinsip jual beli, tetapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Pada prinsip jual beli objek transaksinya adalah barang sedangkan ijarah objek transaksinya adalah jasa (Karim, 2004).
b. Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT)
Transaksi IMBT hampir sama dengan transaksi ijarah, hanya saja transaksi ini memberikan opsi bagi penyewa untuk membeli barang yang disewa.
4. Prinsip Jasa
Pembiayaan ini disebut jasa karena pada prinsipnya dasar akadnya adalah ta’awun atau tabarru’i. Yakni akad yang tujuannya tolong menolong dalam hal kebajikan. Adapun pengertian dari jenis-jenis pembiayaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Al Wakalah/Wakil
Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, maupun pemberian mandat atau amanah. Dalam kontrak BMT, berarti BMT menerima amanah dari investor yang akan menanamkan modalnya kepada nasabah.
Jasa ini timbul dari hasil pengurusan sesuatu hal yang dibutuhkan anggotanya dimana anggota mewakilkan urusan tersebut kepada seseorang seperti contohnya : pengurusan SIM, STNK pembelian barang tertentu disuatu tempat. Dan lain-lain. Wakalah berarti juga penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat.
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman”. (Q.S Yusuf ayat (12) : 55) “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafie dan seorang Anshor untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Al harits”. (Al Hadits)
b. Kafalah/Garansi
Kafalah berarti jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak lain untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak yang ditanggung. Dalam praktiknya BMT dapat berperan sebagai penjamin atas transaksi bisnis yang dijalankan oleh anggotanya.
c. Al Hawalah/Pengalihan Piutang
Al Hawalah berarti pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada si penanggung.
d. Ar Rahn (Gadai)
Ar Rahn adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan atas pembiyaan yang diterimanya.
5. Pinjam-meminjam yang Bersifat Sosial
Dalam operasional BMT transaksi pinjam-meminjam ini dikenal dengan nama pembiayaan qardh, yaitu pinjam-meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman sekaligus ataupun dicicil dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Produk jasa merupakan produk yang saat ini banyak dikembangkan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk BMT. Adapun mengenai produk jasa misalkan didasarkan pada akad wakalah. BMT dalam menggunakan akad ini misalnya dalam perpanjangan SIM, KTP, STNK dan sebagainya. Dengan demikian BMT akan mendapatkan fee dari transaksi ini.
Tag :
ARTIKEL
2 Komentar untuk "MODEL MUDOROBAH PADA BANK SYUARIAAH"
Halo, saya Ainah Ann, saat ini saya tinggal di indonesia. Saya hampir muak dengan kehidupan beberapa bulan yang lalu karena saya membutuhkan uang untuk membayar tagihan saya, dan karena situasi saya, saya sangat ingin mendapatkan pinjaman untuk membayar tagihan saya yang sudah dikeluarkan dan membiayai bisnis saya. Semua usaha saya untuk mendapatkan pinjaman dari perusahaan pinjaman swasta dan korporasi internet ini benar-benar sia-sia.
Poin terakhir saya untuk mengatakan selamat tinggal pada pencarian pinjaman adalah ketika Tuhan menyerahkan kepada saya sarana rezeki saya untuk bisnis dan mata pencaharian saya sampai saat ini, yang memberi saya pinjaman sebesar 750 juta Rupee Indonesia. Saya hanya harus bersaksi secara online ini karena saya tahu ada banyak orang di luar sana yang mencari jenis perbuatan baik ini, dan pada saat yang sama saya harus menceritakan dunia tentang kesempatan besar yang menanti mereka.
Mengamankan pinjaman tanpa jaminan, Tidak ada pemeriksaan kredit, tidak ada penandatanganan, dan tidak ada biaya pinjaman, hanya dengan tingkat bunga 2% saja dan rencana pembayaran dan jadwal yang lebih baik. Jangan buang waktu lagi, dan bayar tagihan Anda dengan bantuan Maureen Kurt Financial Service. Anda dapat menghubungi dia melalui (maureenkurtfinancialservice@gmail.com). Dia wanita yang baik hati dan kebajikan, jadi jangan takut untuk bertemu dengannya untuk meminta bantuan. Jika ada keraguan atau ketakutan, Anda selalu bisa menghubungi saya melalui ainahann10@gmail.com
Halo, semuanya, tolong, saya dengan cepat ingin menggunakan media ini untuk membagikan kesaksian saya tentang bagaimana Tuhan mengarahkan saya kepada pemberi pinjaman yang benar-benar mengubah hidup saya dari kemiskinan menjadi seorang wanita kaya dan sekarang saya memiliki kehidupan yang sehat tanpa tekanan dan kesulitan keuangan,
Setelah berbulan-bulan mencoba mendapatkan pinjaman di internet dan saya telah ditipu dari 400 juta, saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman dari kreditor online yang sah dalam kredit dan tidak akan menambah rasa sakit saya, jadi saya memutuskan untuk meminta saran kepada teman saya tentang bagaimana cara mendapatkan pinjaman online, kami membicarakannya dan kesimpulannya adalah tentang seorang wanita bernama Mrs. Maria yang adalah CEO Maria Loan. Perusahaan
Saya mengajukan jumlah pinjaman (900 juta) dengan suku bunga rendah 2%, sehingga pinjaman yang disetujui mudah tanpa stres dan semua persiapan dilakukan dengan transfer kredit, karena fakta bahwa itu tidak memerlukan jaminan untuk transfer. pinjaman, saya hanya diberitahu untuk mendapatkan sertifikat perjanjian lisensi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari dua jam uang pinjaman telah disetorkan ke rekening bank saya.
Saya pikir itu lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya telah dikreditkan dengan jumlah 900 juta. Saya sangat senang bahwa akhirnya Tuhan menjawab doa saya dengan memesan pemberi pinjaman saya dengan kredit saya yang sebenarnya, yang dapat memberikan hati saya harapan.
Terima kasih banyak kepada Ibu Maria karena telah membuat hidup saya adil, jadi saya menyarankan siapa pun yang tertarik mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Ibu Maria dengan baik melalui E-mail (mariaalexander818@gmail.com) ATAU Via Whatsapp (+1 651-243 -8090) untuk informasi lebih lanjut tentang cara mendapatkan pinjaman Anda,
Jadi, terima kasih banyak telah meluangkan waktu Anda untuk membaca tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda.
Nama saya adalah kabu layu, Anda dapat menghubungi saya untuk referensi lebih lanjut melalui email saya: (kabulayu18@gmail.com)
Terima kasih semua.