BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Otonomi
daerah di Indonesia sudah berjalan lebih dari 12 tahun semenjak dilaksanakannya
pada Januari 2001 lalu. Mulai beberapa dekade yang lalu beberapa negara telah
dan sedang melakukan desentralisasi, motivasi fenomena ini terutama disebabkan
oleh alasan politik. Desentralisasi merupakan bagian yang teramat penting
didalam proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan pusat
atau terpusat yang cenderung otokratis berubah menjadi pemerintahan lokal yang
dipilih langsung oleh masyarakat. Alasan lainnya atas maraknya proses
desentralisasi adalah untuk memperbaiki mutu pelayanan kepada masyarakat oleh
penyelenggara pemerintahan. Di dalam konteks ini titik berat desentralisasi
adalah pelayanan, bukan kekuasaan. Dengan kata lain desentralisasi adalah suatu
upaya mendekatkan pemerintahan kepada rakyatnya (bringing the State closer to
the people).
Seiring dengan telah terselesaikannya kendala
kehidupan politik di Indonesia yang ditandai dengan telah terbentuknya
penyelenggara pemerintahan yang baru hasil suatu proses yang cukup demokratis,
maka harapan akan membaiknya perekonomian dan berbagai aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara lainnya di Indonesia menjadi terbuka, dan semoga dalam
tempo yang tidak terlalu lama harapan tersebut akan menjadi kenyataan. Selain
itu juga semangat reformasi dan perubahan diberbagai bidang serta dorongan dan
dampak dari proses demokratisasi telah menggugah pemerintah bersama dengan
parlemen untuk melahirkan dua undang-undang yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut merupakan dasar bagi proses
desentralisasi dan otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab.
Tujuan utama dari desentralisasi dan otonomi daerah
ini adalah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat yang dilayaninya sehingga
pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol masyarakat kepada
pemerintah menjadi lebih kuat dan nyata. Desentralisasi dan otonomi daerah
dapat dikatakan berhasil apabila pelayanan pemerintah kepada masyarakat menjadi
lebih baik dan masyarakat menjadi lebih berperan dalam meningkatkan
kesejahteraan bersama. Desentralisasi kewenangan tersebut akan berakhir dengan semakin
meningkatnya peranserta masyarakat dan berubahnya peran pemerintah dari
provider menjadi fasilitator.
Otonomi Daerah
sebagai salah satu prasyarat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
demokratis setidaknya menjadi sesuatu yang penting dalam meminimalisir
ketimpangan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, serta mempermudah
mekanisme birokrasi dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Dan klausul
inilah yang menjadi salah satu point penting, baik dalam UU No. 22 tahun 1999
maupun UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, birokrasi pemerintahan daerah dipandang perlu untuk lebih menekankan pada
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan,
serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (Baca pembukaan UU
No 22/99 Tentang pemerintahan daerah). Hal ini dapat kita refleksikan
kembali pengelolaan negara kita selama kurun waktu 32 tahun dibawah rezim Orde
Baru, dimana sistem penyelenggaraan birokrasi pemerintahan daerah bersifat
sentralistik dan top-down.
Dalam konsep
desentralisasi, daerah memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk menyelenggarakan
pemerintahanya. Secara ideal, pemerintahan daerah di
era otonomi, diberikan kewenangan, tidak saja pada aspek politik (pengelolaan
kekuasaan dan tata pemerintahan), akan tetapi, daerah juga diberikan kewenangan
dalam mengembangkan berbagai potensi ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat di
daerah. Artinya bahwa pemerintahan daerah dengan kewenangan dan kekuasaan membentuk dan menjalankan
mesin birokrasinya sesuai dengan aspirasi dan inisiatif masyarakat daerah.
Walaupun ada beberapa hal yang telah diatur dalam perundang-undangan yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat, antaralain agama, pertahanan dan keamanan,
moneter dan fisikal, serta kebijakan luar negeri. Kewenangan yang diperoleh
tersebut dengan harapan, bahwa apa-apa yang menjadi kebutuhan masyarakat daerah
dan aspirasi masyarakat daerah, pemerintah di daerah mampu memberikan pelayanan
yang lebih efektif dan aspiratif.
Otonomi daerah
dapat menjadi mekanisme mempercepat proses penataan kelembagaan birokrasi
ditingkat daerah yang berorintasi pada pelayanan yang holistic
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan
daerah memberikan implikasi
positif terhadap kamajuan masyarakat daerah tersebut, khususnya dalam
memperpendek cara dan sistem pelayanan kepada masyarakat, yang sebelumnya
berpusat di Jakarta (top-down) dan pada era otonomi (bottom-up).
Berbagai bentuk inisiatif dan kreativitas layanan publik dapat dilakukan oleh
pemerintahan daerah. Tentu saja hal
ini harus inheren dengan pola kerja birokrasi/pemerintahan yang profesionalisme.
Selain memuat konsep otonomi daerah,
kebijakan pemerintah pusat melalui UU No.32/2004 juga merekomendasikan ”secara
bersyarat” adanya pemekaran wilayah, baik pada tingkat provinsi maupun tingkat
kabupaten (UU No.32/2004 yang berkaitan dengan persyaratan dan prosedur
pemekaran wilayah pada tingkat kabupaten). Secara eksplisit tujuannya adalah
memperdependek jarak kerja birokrasi memberikan pelayanan publik kepada
masyarakat, serta mempermudah akses masyarakat terhadap hak-hak dasarnya yang
diselenggarakan oleh birokrasi pemerintah.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka
pertanyaan yang muncul adalah bagaimana peluang penataan ekonomi-politik dan
makna desentralisasi dan otonomi daerah
yang berkaiatan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan
sistem birokrasi pemerintahan daerah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PELUANG PENATAAN BIROKRASI, DESENTRALISASI
DAN OTONOMI
DAERAH
Otonomi Daerah
adalah kewenangan otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pengertian otonom secara bahasa adalah berdiri sendiri atau
dengan pemerintahan sendiri. Sedangkan daerah adalah suatu wilayah atau
lingkungan pemerintah. Dengan demikian pengertian secara istilah otonomi daerah
adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola
untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri (Sudi
Fahmi, 2009). Dan
pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah
yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu
sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan
termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi
adat istiadat daerah lingkungannya
Dari pengertian
tersebut setidaknya memberikan harapan dua hal, pertama otonomi daerah
mendorong kreativitas pemerintah daerah untuk mengoptimalisasi segala potensi
yang dimiliki untuk mensejahterahkan masyarakat di daerah. Kedua, dari aspek birokrasi, otonomi daerah
memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk merumuskan dan menata kembali
sistem birokrasi pemerintahan daerah yang lebih baik dan lebih lokalistik.
Pendelegasian
dan atau pelimpahan wewenang tersebut tentu saja dipahami sebagai upaya untuk
mendorong terwujudnya birokrasi dan pemerintahan daerah yang responsif dan
tanggungjawab atas berbagai persoalan di daerah. Konsep desentralisasi
otonomi daerah merupakan upaya membebaskan pemerintah pusat dari berbagai beban
yang tidak harus ditanganinya sendiri dan semestinya dilimpahkan ke daerah,
sehingga pemerintah daerah berkesempatan mempelajari, memahami, merespon
berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaaat daripadanya. Pada saat
yang sama pemerintah pusat harus konsentrasi pada perumusan kebijakan makro
nasional yang bersifat strategis.
Kebijakan
desentralisasi ini tentu saja memberikan manfaat positif yang salah satunya
adalah terjadinya proses pembelajaran untuk menjadi pemerintah yang good
governance dengan mendorong lahirnya birokrasi yang berorientasi pada
pelayanan publik demokratis. Desentralisasi merupakan simbol adanya trust
(kepercayaan) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Jika dipahami
sebagai trust, maka konsekuensi logisnya adalah adanya upaya-upaya perbaikan
kinerja dan berbagai bentuk pelayanan publik dan oragnisasi birokrasi
yang dilakukan oleh pemerintah daerah (otonom) sehingga pemerintah pusat
memfasilitasi berbagai bentuk anggaran yang dialokasikan dalam bentuk Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan distribusi berdasarkan kebutuhan
masing-masing daerah otonom.
Pemerintah tidak
lagi patronase, apalagi mendominasi. Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini adalah melakukan
supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelakasanaan otonomi daerah.
Oleh sebab itu dalam kerangka otonomi daerah diperlukan kombinasi yang efektif
antara visi yang jelas serta kepemimpinan yang kuat, birokrasi yang
"bersih", dengan keleluasaan berprakarsa dan berkreasi dari
pemerintah daerah.
Visi otonomi
daerah, inheren dengan penataan kembali birokrasi pemerintah
daerah; dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi utama: politik,
ekonomi serta sosial budaya. Pertama di bidang politik, karena
otonomi dipahami sebagai kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka dapat
dimaknai sebagai mekanisme baru dalam melahirkan kepala pemerintahan daerah
yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyenggaraan
birokrasi pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan
memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas
pertanggungjawaban publik.
Kedua, dibidang ekonomi.
Otonomi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan
ekonomi nasional di daerah, dan dipihak lain terbukanya peluang bagi pemerintah
daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan
pendayagunaan ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini otonomi daerah akan
memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa birokrasi pemerintah daerah untuk
berkompetisi dengan daerah lain menawarkan fasilitas investasi, memudahkan
proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang
perputaran ekonomi di daerah yang muaranya adalah terciptanya kesejahteraan
masyarakat dari waktu ke waktu. Birokrasi di era tonomi otonomi harus dimaknai
sebagai manifestasi dari harapan-harapan masyarakat akan hadirnya pemerintah
sebagai katalisator, fasilitator dan regulator yang mendorong berkembangnya
sektor riil perkonomian masyarakat guna mewujudkan daerah yang sejahterah (konsep
wellfare state).
Ketiga, bidang sosial budaya.
Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara
harmoni sosial, dan pada saat yang sama, memelihara nilai-nilai lokal yang
dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika
kehidupan sekitarnya. Artinya
bahwa pemerintah daera dan sistem birokrasinya, bila tidak dikelola dengan baik
dan merepresentasikan seluruh kepentingan masyarakat daerah, maka bukan hal
tidak mungkin akan menimbulkan konflik. Karena control masyarakat terhadap
pemerintah semakin dekat, serta adanya kebebasan bersuara, mengeluarkan
pendapat dan berserikat harus direspon oleh birokrasi pemerintah daerah sebagai
pengawasan melekat.
Pada sisi inilah
menjadi penting mempertimbangan konsepsi birokrasi perwakilan sebagai salah
satu alternative membangun trust masyarakat terhadap organisasi
pemerintah daerah serta merintis jalan dialogisme dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Hal penting yang perlu di kelola dengan baik dalam otonomi
daerah adalah meniciptakan situasi harmoni dalam kondisi pluralisme, sebab
persoalan mendasar dari dua point (politik dan ekonomi) di atas adalah
pada aspek potensi sosial budaya. Kemampuan mengelola aspek ini secara tidak
langsung akan berdampak positif pada kehidupan tatanan masyarakat yang
berdaulat, sehingga memudahkan pemerintah daerah mengkonsolidasikan seluruh
potensi masyarakat sebagai modal membangun daerah.
Bila ditinjau dari dari tiga aspek yang
telah disebutkan diatas (politik, ekonomi, sosial budaya), maka pelaksanaan
birokrasi pemerintah di era desentralisasi dan otonomi daerah dipengaruhi oleh
beberapa faktor; 1) kemampuan si pelaksana (birokrat), yaitu berkaitan dengan
kesiapan sumber daya manusia dalam mengelola dan menjalankan sistem birokrasi
pemerintahan yang baik (good governance); 2) kemampuan dalam keuangan, yaitu
berkaitan dengan ketersedian sumber resources yang dimiliki birokrasi
pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat dalam membiayai berbagai program
dan menyelenggarakan roda pemerintahan. Artinya bahwa birokrasi harus respect terhadap
persoalan keuangan. 3) ketersediaan alat dan bahan, yaitu otonomi harus
dilandasi oleh ketersediaan infrastruktur dan supra struktur yang mendukung
suatu daerah untuk mandiri; 4) kemampuan dalam berorganisasi, yaitu berkaitan
dengan kapasitas dan kemauan (capacity and wellingness) yang dimiliki
oleh seluruh stakeholders daerah otonom, khususnya kapasitas elit-elit politik
dan birokrat dalam membentuk tatanan organisasi masyarakat, organisasi dan
birokrasi pemerintahan yang demokratis.
B. SEJARAH DESENTRALISASI DAN BIROKRASI DI
INDONESIA
1.
Desentralisasi
Desentralisasi bukanlah merupakan hal baru di Indonesia. Pemerintah
kolonial Belanda mempraktekkan kebijakan desentralisasi terbatas pada 1903,
1905 and 1922 yang bertujuan untuk mempersatukan baik elemen masyarakat modern
dan tradisional dalam mengatur hubungan centre-region di Indonesia (Legge
1961:5–6 dalam Sulistiyanto dan Erb, 2005). Setelah masa penjajahan Belanda
selesai dan Belanda meninggalkan Indonesia, Pemerintah Jepang masuk dengan gaya
pemerintahan yang sentralsitik. Hal ini dikarenakan Jepang ingin berkonsentrasi
untuk mengeksploitasi sumber daya Indonesia dan memobilisasi pasukannya dalam
menghadapi pasukan sekutu (Sulistiyanto dan Erb, 2005). Tidak banyak perubahan
dalam hal politik regional yang terjadi pada masa pendudukan Jepang berakhir sampai
agresi Belanda di Indonesia. Pada awal kemerdekaan, terjadi perdebatan sengit
untuk menentukan bentuk negara Indonesia. Pilihannya ada dua, sistem unitarian
atau sistem federal. Sistem pertama didukung oleh Soekarno, Hatta, serta
pemimpin militer pada saat itu. Alasannya adalah karena Indonesia merupakan
negara kepulauan yang luas serta memiliki banyak keragaman budaya, maka
pemerintahan pusat yang kuat diperlukan untuk mengaturnya (Sulistiyanto dan
Erb, 2005). Sistem federal mulai dilupakan (lebih tepatnya tersingkir) karena
sistem ini merupakan buatan Belanda yang digunakan untuk memecah-belah
persatuan bangsa Indonesia (Feith 1962:58–9 dalam Sulistiyanto dan Erb, 2005).
Sampai di zaman Orde Baru dibawah kendali Soeharto, pemerintah mengeluarkan dua
undang-undang; UU no. 5/1974 tentang pemerintahan daerah dan UU no. 5/1979
tentang pemerintahan desa. Kedua undang-undang itu pada dasarnya melarang hak
dari setiap wilayah untuk mengurus wialyahnya sendiri (Sulistiyanto dan Erb,
2005; Charras, 2005). Walaupun kondisi pemerintah pusat dalam kondisi stabil di
Jakarta, namun daerah seperti Riau, Kalimantan Timur, Aceh, dan Irian Jaya
(sekarang Papua) mulai mengeluhkan kewenangan pemerintah pusat yang berlebihan.
Sistem politik sentralistik yang dikendalikan oleh segelintir orang saja
menyebabkan sebagian orang di daerah menjadi frustasi dan marah karena mereka
tidak mampu mengambil keputusan sendiri disebabkan terlalu kuatnya kontrol dari
pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan tensi tinggi antara pemerintah pusat dan
daerah (Sulistiyanto dan Erb, 2005). Pada awal masa reformasi setelah jatuhnya
Soeharto, desentralisasi menjadi isu utama yang dibahas oleh Presiden B.J.
Habibi saat itu. Akhirnya, muncullah dua undang-undang yaitu UU no.22/1999 dan
UU no. 25/1999 yang masing-masing mengatur tentang local governance dan
keseimbangan fiskal daerah. Kedua UU ini kemudian disahkan pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid. Isu desentralisasi pada masa Megawati
Soekarnoputri tidak begitu menjadi perhatian utama karena Megawati memiliki
pandangan nasionalisme yang kuat terhadap NKRI sehingga permasalahan otonomi
daerah dianggapnya merupakan salah satu penguat hubungan antardaerah. Sulistiyanto
dan Erb (2005) berpendapat bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah serta antarpemerintah daerah lainnya harus mengorganisasikan
dan meyusun kembali sifat hubungan, yang awalnya bersifat top-down
(patron-client) menjadi lebih hubungan yang lebih bersifat take-and-give.
Proses desentralisasi juga menimbulkan keprihatinan serius mengenai agenda
neoliberal yang dianjurkan oleh koalisi domestik berbasis pro-reformasi kamp
dan orang-orang dari negara-negara Barat dan multilateral lembaga-seperti Bank
Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Asian Development Bank dan Program
Pembangunan PBB-yang dituangkan pendanaan dan bantuan teknis ke desentralisasi
terkait program di Indonesia. Mereka memiliki kepentingan (interest) sendiri
untuk mengejar kepentingan dalam memastikan desentralisasi yang dilanjutkan dan
‘on track’.
2.
Birokrasi
Birokrasi di
Indonesia mengalami sejarah yang cukup beragam sejak masa kemerdekaan tahun
1945. Pada masa awal kemerdekaan, ada semacam kesepakatan pendapat bahwa
birokrasi merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa.
Anggapan ini beralasan karena hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang dapat
menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Semangat kejuangan masih sangat kental
mewarnai birokrasi di Indonesia. Para birokrat masih menggelora semangatnya
untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsanya, sehingga tidak jarang
kelompok mayoritas mau mengalah terhadap minoritas demi kesatuan dan persatuan
bangsa. Semangat primordial untuk sementara dapat dikesampingkan oleh semangat
nasional. Satu-satunya organisasi politik yang bersifat primordial yang
mengancam negara dan bangsa Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mereka melakukan pemberontakan untuk menguasai birokrasi pemerintah dan
sekaligus mengganti pemerintah yang sah.
Pada perjalanan
masa berikutnya, birokrasi kita mulai dihinggapi oleh aspirasi primordial yang
kuat. Birokrasi Pemerintah mulai menjadi incaran dari kekuatan-kekuatan politik
yang ada. Partai-partai politik mulai melirik untuk menguasai birokrasi
pemerintah. Bahkan pada antara tahun 1950-1959, birokrasi pemerintah berada
dibawah kepemimpinan partai politk yang menjadi mayoritas di lembaga DPR. DPR
menjadi kuat, tapi sebaliknya lembaga Eksekutif di mana birokrasi sebagai
pelaksana politik menjadi semakin lemah. Hal demikian diakibatkan oleh
parta-partai politik yang berdiri pada waktu itu sebagai akibat dari adanya
Maklumat 3 Nopember 1945 yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk
mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Akhirnya partai-partai
beramai-ramai ingin menguasai berbagai departemen maupun kementerian, bahkan
tidak jarang terjadi jatuh bangunnya Kabinet pemerintah hanya dikarenakan oleh
tidak meratanya pembagian kementerian yang diinginkan oleh partai-partai. Pada
masa ini pula birokrasi mempunyai loyalitas ganda; satu segi kepada partai
politik yang didukungnya dan pada sisi lain kepada masyarakat yang dilayaninya.
Kemudian pada masa
antara tahun 1960 – 1965 birokrasi menjadi incaran kekuatan politik yang ada.
Pada saat itu ada tiga kekuatan politik yang cukup besar yaitu, nasionalis,
agama dan komunis (Nasakom) yang berusaha berbagi wilayah kekuasaan atau
kaplinganya pada berbagai Departemen. Di bawah label Demokrasi Terpimpin, tiga
kekuatan politik tersebut membangun akses ke birokrasi pemerintah. Keadaan
sistem politik yang primordial membawa pengaruh kuat terhadap birokrasi,
sehingga birokrasi pemerintah sudah mulai nampak ke-pemihakannya kepada
kekuatan politik yang ada. Lebih tepat dapat dikatakan bahwa birokrasi
birokrasi saat itu sudah terperangkap ke dalam jaring perangkap yang dipasang
oleh kekuatan politik Nasakom. Hal ini dapat dilihat pada saat meletusnya
peristiwa G.30 S/PKI kekuatan komunis telah masuk hampir di seluruh departemen
pemerintah, sementara kekuatan nasionalis dan agama hanya mendominasi sebagian
kecil dari departemen-departemen yang ada.
Kemudian pada masa
antara 1965 sampai masa Orde Baru (Era pemerintahan Soeharto), birokrasi lebih
jelas kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang dominan; dalam hal ini
Golkar.
Salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar pada
enam kali pemilu (sampai 1997) adalah karena peranan birokarsi yang cukup kuat.
Kesadaran politik di masa awal kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai
alat pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula pada masa tersebut.
Politik floating-mass
(masa mengambang) men-jadikan birokrasi dapat menjangkau ke seluruh wilayah
pelosok desa-desa di tanah air kita ini. Hal ini merupakan potensi kemenangan
yang diraih Golkar untuk menguasai birokrasi, apalagi birokrat diperbolehkan
untuk menggunakan hak pilihnya (men-jadi peserta pemilu) yang pilihannya tidak
ada lain kecuali harus memilih Golkar sehingga dengan demikian birokrasi
identik dengan Golkar.
Dengan menggunakan
model 3 jalur yang dikenal dengan jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan keluarga
Golkar) semakin jelas mengisyaratkan bahwa birokrasi sudah terpolitisir oleh
satu kekuatan politik tertentu. Mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur dengan
segala jajaran di bawahnya duduk di kepengurusan Golkar menunjukkan betapa
sulitnya membedakan antara pemerintah (birokrasi) dan politik (Golkar).
KORPRI yang diharapkan menjadi wadah aktifitas kedinasan
seluruh pegawai negeri yang keberadaannya tidak berafiliasi kepada satu
kekuatan politk apapun, namun betapa sulitnya mem-pertahankan kenetralannya
manakala melihat hanya Golkarlah satu-satunya kekuatan sosial politik yang
mempunyai akses ke birokrasi sedang kekuatan politik yang lain hanya berada di
luar garis. Angin
reformasi mulai bergulir sejak rejim Soeharto jatuh, dan muncul Habibi
menggantikannya. Namun kondisi birokrasi kita tidak jauh berubah, karena semua
tahu bahwa naiknya Habibi menggantikan Soeharto adalah didukung sepenuhnya oleh
Golkar. Kemudian Habibi digantikan oleh duet Gus Dur-Mega memunculkan nuansa
baru dibidang pemerintahan termasuk birokrasi, karena pemerintahan Gus Dur
disusun atas dasar kompromistis dari hampir semua kekuatan politik yang ada
sehingga memunculkan apa yang kemudian dikenal dengan Kabinet Persatuan
Nasional, di mana para menteri yang duduk di dalamnya terdiri dari unsur partai
politik besar yang memperoleh suara signifikan dalam pemilu 1999. Dari sinilah
kemudian wacana tentang birokrasi menjadi marak kembali.
C. PENATAAN BIROKRASI DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
Birokrasi pemerintah seringkali diartikan sebagai officialdom
atau kerajaan pejabat, yaitu suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para
pejabat dari suatu bentuk organisasi modern. Officialdom ini memiliki kecenderungan untuk menyalahgunakan
tahta, apabila kontrol dari masyarakat sangat lemah. Kerajaan modern ini
bekerja dalam tatanan pola hirarki sebagai perwujudan dari tingkat dan otoritas
kekuasaannya. Mereka yang menduduki jabatan dalam kerjaan modern ini memperoleh
gaji berdasarkan keahlian, kompetensi dan status/jabatanya. Maka menjadi sangat
penting mendorong kerajaan modern ini melakukan kerja-kerja pelayanan berbasis
pada nilai lokalitas dan kepentingan masyarakat setempat. Dengan ciri khas
sistem kerja mereka selalu berbasis legal formal prosedural yang dituangkan
dalam bentuk undang-undang, Peraturan pemerintah, Peraturan Menteri, dan bahkan
memiliki standar operasional yang diseragamkan (sebagai hasil dari bentuk
organisasi yang hirarki). Kerajaan
modern ini memiliki struktur dan sistem kerja yang "disiplin dan
kaku".
Pada birokrasi
pemerintah, pejabat yang menduduki jabatan tertentu memiliki kekuasaan yang
amat menentukan, karena disusun dalam tatanan hirarki dari atas kebawah;
mendapatkan fasilitas yang lengkap, sedangkan rakyat tetap tak berdaya; dan
seringkali birokrasi pemerintah dapat juga disebut kerajaan pejabat yang jauh
dari rakyat sebagai akibat dari pola kerja yang dilakukan cenderung tertutup.
Inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab terjadi disharmonisasi
hubungan masyarakat (pemenerima layanan) dengan birokrasi. Eskalasi resistensi
yang seringkali berakhri dengan konflik antara masyarakat dengan birokrasi
maupun masyarakat dengan masyarakat. Pola rekruitmen yang melanggengkan
kekusaan satu kelompok tertentu atau satu etnis tertentu, pemberian pelayanan
yang tidak adil dan diskriminatif seringkali terjadi pada bentuk
officialdom.
D. BIROKRASI PEMERINTAH SEBAGAI MESIN
PELAYANAN PUBLIK
Dalam sistem ketatanegaraan maupun dalam disiplin
ilmu sosial politik, bahwa birokrasi pemerintah ada karena untuk melayani
masyarakat, maka pemerintah sebagai penyelenggara negara harus mampu memberikan
pelayanan yang baik kepada masyarakat berdasarkan aspirasi dan tingkat
kebutuhannya. Pelayanan publik
merupakan roh atas terbentuknya sebuah pemerintahan, maka menjadi ironi
kemudian jika pemerintah hanya melayani dirinya sendiri.
Pelayanan publik
merupakan sistem yang terintegrasi dalam tatanan kebijakan pemerintah, oleh
sebab itu isu pelayanan publik menjadi isu sentral akhir-akhir ini, apalagi
dalam konteks pemekaran wilayah dan otonomi daerah. Dimana tujuan utama
sistem desentralisasi adalah menciptakan pelayanan publik yang efektif dan
afisien. Pelayanan publik tidak hanya diselenggarakan atau dikelola oleh
pemerintah akan tetapi dewasa ini, pelayanan publik juga dikelola oleh pihak
pemodal/swasta yang tentunya berorientasi pada keuntungan (bussiness oriented).
Pelayanan publik
terutama yang menyangkut pelayanan dasar (hak-hak dasar) seperti pendidikan,
kesehatan, sarana dan prasarana umum, jaminan sosial, ataupun identitas warga
yang harus ”diproteksi” dan diselenggarakan oleh negara atau menjadi tanggung
jawab negera sebagai bentuk pertanggung jawaban dari adanya kontrak sosial
(rakyat-negara), kini telah bergeser dikelola oleh pihak swasta/pemodal. Pelayanan publik sebagai wujud nyata dari
kebijakan pemerintah, maka spirit dalam kebijakan tersebut sudah semestinya
mengedepankan pemenuhan aspirasi dan tuntutan masyarakat.
Namun demikian dari
pendapat tersebut harus dipahami bahwa pelayanan itu merupakan sebuah proses
berdasarkan tingkat kebutuhan. Dan dalam konteks birokrasi pemerintahan, bahwa
semakin banyak jumlah penduduk, semakin banyak kebutuhannya serta semakin
kompleks persoalan yang dihadapi, dan pemerintah ada untuk memfasilitasi dan
bahkan menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi masyarakat tersebut,
khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat sebagai
warga negara.
Masyarakat setiap
waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari birokrat, meskipun
tuntutan tersebut sering tidak sesuai dengan harapan karena secara empiris
pelayanan publik yang terjadi selama ini masih bercirikan berbelit-belit,
mahal, dan melelahkan. Kecenderungan seperti ini itu terjadi karena masyarakat
masih diposisikan sebagai pihak yang ”melayani” bukan yang ”dilayani”. Oleh
karena itu dibutuhkan formulasi pelayanan publik dengan mengembalikan dan
mendudukkan ”pelayan” dan yang ”dilayani” ke pengertian sesungguhnya.
Dengan demikian pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan
kebutuhan masyarakat oleh birokrat sebagai penyelenggaran birokrasi
pemerintah. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan
tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya negara
dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual, akan
tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat, misal
kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
Osborn dan Plastrik mencirikan pemerintahan (birokrat)
sebagaimana diharapkan di atas adalah pemerintahan milik masyarakat, yakni
pemerintahan (birokrat) yang mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya
kepada masyarakat. Masyarakat
diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi.
Dengan adanya kontrol dari masyarakat pelayanan publik akan lebih baik karena
mereka akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif
dalam memecahkan masalah. Pelayanan yang diberikan oleh birokrat ditafsirkan
sebagai kewajiban bukan hak karena mereka diangkat oleh pemerintah untuk
melayani masyarakat, oleh karena itu dibangun komitmen yang kuat untuk melayani
sehingga pelayanan akan dapat lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan
dapat merancang model pelayanan yang lebih kreatif, serta lebih efisiensi.
Sebagaimana yang
tercantum dalam klausul kebijakan desentralisasi, bahwa otonomi daerah
dimaksudkan untuk mempermudah proses pelayanan publik dan menciptakan kebijakan
yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah. Oleh sebab itu
sudah menjadi keharusan bagi pemerintah daerah untuk mengartikulasikan dan
merumuskan aspirasi dan kepentingan masyarakat sesuai dengan kebutuhan riil
masyarakat daerah.
Secara teoritis,
tujuan birokrasi memberikan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan
masyarakat. Untuk mencapai
kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari:
1. Transparansi
beuracatic, yakni pelayanan birokrasi yang bersifat terbuka, mudah dan
dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan
2. Akuntabilitas
beuracatic, yakni birokrasi dalam memberikan pelayanan harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. Konditional
beuracatic, yakni birokrasi memberikan pelayanan yang sesuai dengan kondisi
dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada
prinsip efisiensi dan efektivitas; tatan dan sistem birokrasi harus respect
dengan persolan masyarakat.
4. Partisipatif
beuracatic, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan
dan harapan masyarakat;
5. Birokrasi
Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat
dari aspek apa pun, khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan
lain-lain
6. Keseimbangan
hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan
antara pemberi dan penerima pelayanan publik.
Keenam point yang
berkaitan dengan kualitas kinerja birokrasi pemerintah di atas, secara
eksplisit ingin menekankan kepada para penyelengggara pelayanan publik bahwa
memberikan pelayanan bukan hanya sekedar ”melayani” akan tetapi prinsip-prinsip
yang substantif harus di terjemahkan dalam setiap bentuk layanan tersebut,
sehingga masyarakat sebagai penerima layanan mendapatkan hasil yang maksimal
atau dengan katalian kepuasan atas kualitas layanan yang diberikan (dalam hal
ini pemerintah atau birokrat sebagai penyelenggara layanan publik).
Dimana keenam point tersebut menjadi pijakan utama oleh pemerintahan
daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Deskripsi dari
kualitas layanan publik yang prima, tentu saja tidak parsial, hanya menekankan
pada satu satu aspek tanggungjwab saja, akan tetapi akselerasi antara kemauan
pemerintah (welling ness government) dan kapasitas (government
capacity) dalam merumuskan dan mengimplementasikan berbagai pelayanan
publik merupakan kunci utama untuk mendapatkan hasil layanan yang baik (public
goods). Oleh sebab itu untuk memperoleh pelayanan yang berkualitas,
maka sangat diperlukan beberapa unsur penting layanan publik yang sekaligus
yang menggambarkan karakteristik suatu produk layanan antaralain; Pertama,
kinerja (performance) yaitu berkaitan dengan kemauan dan
optimalisasi peran aktor dan institusi (pemerintah/birokrat) dalam memberikan
berbagai bentuk layanan kepada masyarakat dengan berpijak pada enam (6) prinsip
tersebut diatas; ( transpransi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif,
kesamaan hak, serta keseimbangan hak dan kewajiban).
Kedua, keandalan (reliability), yaitu suatu bentuk
layanan publik tidak hanya sekedar memberikan layanan kepada masyarakat akan
tetapi, jenis dan bentuk layanan yang diberikan harus mampu menjawab kebutuhan
masyarakat, sehingga masyarakat tidak mengeluh atas layanan yang diberikan.
Dengan katalain bahwa suatu layanan yang diberikan harus bisa menjamin kepuasan
masyarakat. Ketiga, mudah dalam penggunaan (ease of use), yaitu
berbagai bentuk layanan yang diberikan memberikan kemudahan bagi masyarakat
untuk menggunakan dan menikmati layanan tersebut, sehingga layanan tersebut
efektif diterima oleh masyarakat sebagai pengguna (end user). Keempat,
estetika (esthetics), bahwa sebuah bentuk layanan publik sangat penting
untuk memasukan unsur estetika, karena dengan unsur tersebut akan memudahkan
masyarakat untuk menerima bentuk layanan tersebut. Artinya bahwa estetika
tentu saja bukan hanya terletak pada bentuk barang yang disajikan akan tetapi
cara melayani-pun dibutuhkan estetika yang disesuaikan dengan kondisi
masyarakat setempat, dengan tujuan untuk memudahkan penerimaan suatu bentuk
layanan publik.
Seperti halnya yang
dikemukakan oleh Gaspersz dalam Sampara Lukman dan dikutip dalam Reformasi
Pelayanan Publik, bahwa pada dasarnya kualitas pelayanan publik mengacu pada
pengertian pokok:
1. Kualitas
terdiri atas sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun
keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan memberikan kepuasan
atas penggunaan produk;
2. Kualitas
terdiri atas segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.
Jadi dalam konteks
otonomi daerah, maka birokrasi adalah pelayanan publik, merupakan tanggung
jawab pemerintahan daerah. Birokrasi publik adalah pelayanan yang memberikan
kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat tanpa membedakan status sosial,
ekonomi, suku dan agama. Oleh sebab itu agar birokrasi pemerintah daerah
dapat memberikan pelayanan berkualitas, maka pemerintah daerah sebagai
penyelenggara pelayanan publik setidaknya memiliki sistem manajemen pelayanan
yang berkualitas pula. Sehingga indikator penting yang dapat dilihat dalam
pelayanan publik di bidang kesehatan antaralain:
1. Adanya
komitmen dari manajemen pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik,
2. Ketersediaan pengetahuan dan kepahaman tentang manajemen
kualitas bagi aparatur yang bertugas melayani;
3. Kemampuan aparatur mengubah kultur yang mempengaruhi
kualitas manajemen pelayanan pelanggan;
4. Optimalisasi pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan
guna mendukung sistem pelayanan;
5. Kemampuan membangun learning organization, learning
by the individuals dalam organisasi;
6. Adanya kesesuaian antara struktur organisasi dengan
kebutuhan;
7. Kecukupan sumber daya dan dana;
8. Ketepatan sistem pengharagaan dan balas jasa bagi
karyawan;
9. Ketepatan mengadopsi prisnisp manajemen kualitas kedalam
organisasi;
10. Ketepatan dalam memberikan perhatian pada pelanggan
(masyarakat sebagai yang dilayani)
baik internal maupun eksternal;
11. Ketepatan dalam pemberdayaan dan kerjasama.
Demikian halnya yang dikemukakan oleh Fitzsimmon dalam
Lijan Poltak Simanjutak, berpendapat bahwa terdapat lima indikator pelayanan
publik, yaitu relaibility yang ditandai pemberian pelayanan yang tepat
dan benar; tangibles yang ditandai dengan penyediaan yang memadai sumber
daya manusia dan sumber daya lainnya; responsiveness, yang ditandai
dengan keinginan melayani konsumen dengan cepat; assurance, yang
ditandai tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan,
dan empati, yang ditandai tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan
kebutuhan konsumen (Fitzsimmon dalam Lijan Poltak Simanjutak; reformasi
pelayanan publik, hal;7).
E. POSISI DAN
MODEL BIROKRASI PEMERINTAHAN OTONOM
Permasalahan dalam
mewujudkan birokrasi yang netral di Indonesia hanya dapat diatasi jika kita
telah mampu mengambil langkah kebijakan yang jelas dalam mengambil posisi model
birokrasi yang akan kita anut. Selama
ini, ada dua macam model birokrasi yang berkembang luas, yakni model klasik
Eropa, dan model klasik Amerika yang telah mengalami beberapa perubahan.
Pertama, Model Birokrasi Netral Murni.
Model ini yang banyak dianut adalah model Eropa yang menekankan
pada prinsip netralitas birokrasi. Dlam model ini proses rekrutmen, promosi,
dan depromosi birokrasi menjadi urusan internal birokrasi, dan tidak boleh
dipengaruhi oleh sikap atau keputusan politisi. Dengan model ini maka birokrasi
dapat menjaga prinsip profesionalisme dan keahlian (meritokrasi) birokrasi. Sementara kelemahannya birokrasi dimungkinkan menjadi
tidak terkontrol, oligarkis, dan tidak mengacu pada kemauan demokrasi. Dalam kondisi ini maka tesis Etzioni-Halevi tentang
birokrasi menjadi dilema bagi demokrasi sangat mungkin terwujud.
Kedua, Model Loyalitas Politik Birokrasi.
Model kedua adalah model
yang dianut Amerika yakni model birokrasi semi spoil. Dalam model ini proses
rekrutmen, promosi, dan depromosi birokrasi dibedakan pada dua lapis:
1) Pada
lapis elit (policy maker), pada lapis ini proses rekrutmen, promosi, dan
depromosi ditentukan oleh mekanisme politik, atau melalui penunjukan oleh
Kepala Pemerintahan.
2) Pada
lapis birokrasi menengah ke bawah, proses rekrutmen, promosi, dan depromosi
birokrasi menjadi urusan internal birokrasi dengan mengedepankan standar
profesionalisme atau keahlian.
Melalui
mekanisme yang demikian, maka kelebihannya adalah birokrasi dapat diarahkan
oleh politisi yang telah dipilih oleh rakyat melalui mekanisme demokrasi, namun
kekurangannya birokrasi menjadi bisa dimanipulasi/dikendalikan untuk
kepentingan parpol jika tidak dikontrol dengan mekanisme pengawasan yang lain.
Berangkat dari dua model pengorganisasian birokrasi di
atas, sebenarnya pemerintah Indonesia telah mengembangkan satu model birokrasi
sendiri yang mengkombinasikan antara dua model di atas. Dalam pelaksanaannya di
Indonesia, birokrasi dijaga tetap netral dengan mengacu pada prinsip
meritokrasi, tetapi pada level top politisi didukung oleh lembaga sekretariat
politik yang direkrut secara politik tanpa sistem karier. Melalui model ini,
maka diharapkan birokrasi bisa tetap netral dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, sementara dilema antara birokrasi dan demokrasi dapat dijembatani
dengan kehadiran sekretariat politik (staf khusus) yang dipilih secara politis,
tetapi juga mempunyai keahlian khusus sehingga dapat mengimbangi
profesionalisme birokrasi.
F. PELUANG EKONOMI, POLITIK, PERENCANAAN PEMBANGUNAN
DAN KEUANGAN DAERAH
Kebijakan
Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan
memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan
perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa
pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah.
Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan
kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah
diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di
daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.
Pembangunan
daerah merupakan salah satu tujuan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah yang berbasis kewilayahan dan lingkungan serta berkelanjutan. Tjahya
Supriatna (2002) bahwa pembangunan ekonomi daerah didasarkan pada pengembangan
potensi daerah (manusia, alam, dan lingkungan hidup) dalam koridor ekonomi
kerakyatan dengan prinsip (productivity, effciency, redistribution income,
realocate economic, economic advantage and errvironmental sustainable).
Arah kebijakan pembangunan ekonomi daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui:
Arah kebijakan pembangunan ekonomi daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui:
• Kebijakan daerah untuk menumbuhkan pelaku
ekonomi (sektor pemerintah, swasta dan masyarakat), arus
perdagangan dan investasi daerah.
•
Menciptakan dan memperluas kerjasama antardaerah, daerah dengan pusat, dan
daerah dengan LN di bidang ekonomi, yang didukung denganperangkat hukum.
• Menggali dan memanfaatkan potensi dan
keunggulan ekonomi daerah.
•
Meningkatkan kegiatan ekonomi dan industrialiasi perdesaaan dengan agrobisnis
berbasis agraris dan maritim.
•
Pengembangan kawasan ekonomi dan daerah perbatasan berdasarkan pengelolaaan potensi sumber daya ekonomi dan
lingkungan hidupnya
Pemberian
otonomi dan kewenangan kepada daerah merupakan suatu wujud dari pengakuan dan
kepercayaan Pusat kepada daerah. Pengakuan pusat terhadap eksistensi daerah
serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada daerah akan
menciptakan hubungan yang harmonis antara pusat dan daerah. Selanjutnya kondisi
akan mendorong tumbuhnya dukungan Daerah terhadap Pusat dimana akhirnya akan
dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah
sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap
peningkatan kehidupan politik di Daerah.
Ada
beberapa pertimbangan tentang perlunya memberikan otonomi kepada daerah dalam
rangka desentralisasi menurut sudut pandangan yang berbeda. Pertama, ditinjau
dari segi politik sebagai permainan kekuasaan, pemberian otonomi daerah
dipandang perlu untuk daerah untuk mencegah bertumpuknya kekuasaan di satu
tangan yang akhirnya dapat menimbulkan pemerintahan tirani. Kedua, dari segi
demokrasi, pemberian otonomi kepada daerah dipandang perlu, dengan maksud
diikutsertakan rakyat dalam kegiatan pemerintahan dan sekaligus mendidik rakyat
mempergunakan hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pemeritahan. Ketiga, dari
segi teknis organisatoris pemerintahan, pemberian otonomi kepada daerah
dipandang sebagai cara untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang
dianggap lebih doelmatig untuk diurus oleh pemerintahan setempat diserahkan
kepada daerah. Hal-hal yang lebih tempat berada di tangan pusat tetap diurus
oleh pemerintahan pusat. Dengan demikian, soal desentralisasi dan otonomi daerah
adalah soal teknis pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai hasil
sebaik-baiknya (Liang Gie, 1998:35-39). Keempat, dari segi manajemen sebagai
salah satu unsur administrasi, suatu pelimpahan wewenang dan kewajiban
memberikan pertanggungjawaban dari penunaian suatu tugas merupakan hal yang
wajar. Dalam beberapa hal, pemberian otonomi kepada daerah dipandang dapat
mendorong pengambilan keputusan yang lebih cepat dan luwes. Ia dapat memberikan
dukungan lebih konstruktif dalam proses pengambilan keputusan.Dari aspek
ideologi , sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah
hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain
pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi
manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur
Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek
kehidupan bangsa Indonesia .
Dalam perspektif ekonomi, pemekaran wilayah (dalam
konteks desentralisasi dan otonomi daerah), dapat dijadikan sebagai pintu masuk
dalam penataan dan pembangunan daerah, dimana daerah otonom memiliki kewenangan
dalam menyusun perencanaan pembangunan daerah serta pengelolaan keuangan
daerah. Dua kewenangan yang saling beririsan tersebut adalah peluang bagi
daerah otonom untuk menyusun perencanaan yang berperspektif lokal
(aspiratif/sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah). hal inilah yang di
rekomendasikan dalam UU No. 32 Tahun 2004 serta UU No. 25 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan pembangunan daerah
sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.
Perencanaan pembangunan daerah disusun oleh pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten atau daerah kota sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan
oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
1. Rencana
pembangunan jangka panjang daerah (RPJP Daerah) untuk jangka waktu 20 (dua
puluh) tahun yang ditetapkan dengan Perda;
2. Rencana
pembangunan jangka menengah daerah (RPJM Daerah) untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun yang ditetapkan dengan Perda
3. Rencana kerja
pembangunan daerah (RKPD) merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah pusat.
Peyusunan rencana pembangunan daerah, merupakan
pijakan dan pedoman bagi pemerintahan daerah dalam menata dan membangun daerah.
selama ini banyak daerah-daerah di Indonesia (hasil pemekaran dan otonomi),
yang terjebak pada aspek politis, yaitu rencana pembangunan daerah yang
lebih mengedepankan kepentingan politik rezim yang berkuasa ataupun rezim
partai dan cenderung mengesampingkan aspek kesejahteraan masyarakat secara
umum. Sehingga dalam dokumen rencana pembangunan tersebut hanya berisi
daftar isian proyek yang akan dibagi-bagikan sesuai kepentingan politik rezim.
Faktor gagalnya pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan rakyat, bila ditinjau dari aspek perencanaan pembangunan daerah,
antaralain: pertama, ketidak mampuan pemimpin dan pemerintahan daerah
dalam memetakan berbagai potensi yang ada di daerah ( modal alam,
modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial) sebagai rumusan
dalam menyusun rencana pembangunan. Kedua, birokratisasi (bad governance) dalam
memberikan pelayanan kepada investor untuk membagun kerjasama pada bebagai
bidang. Ketiga, proses penyusunan rencana pembangunan daerah yang masih
menggunakan pendekatan top down. Keempat, perilaku KKN masih menggeliat dalam
birokrasi pemerintahan daerah. Kelima, pemerintah daerah belum
memposisikan desa dan kawasan pinggiran sebagai basis pertumbuhan ekonomi,
karena selama ini, ada kecenderungan daerah pemekaran dan daerah otonom,
menempatkan kota sebagai basis pertumbuhan ekonomi. Keenam, inkonsistensi
program pemerintah pusat terhadap daerah, yang ditandai banyak prgram-program
yag bersifat sektoral yang dilakukan oleh pemerintah pusat melalui
masing-masing departemen, dimana program-program tersebut banyak yang tidak
relevan dengan kebutuhan dan visi pembangunan daerah.
Bila ditinjau dari aspek keuangan daerah, penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan
terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti
dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan
mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan
diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah. Semua
sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan
kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Artinya bahwa,
sudah saatnya pemerintah pusat, tidak lagi melakukan proyek sektoral, akan
tetapi bersama-sama pemerintahan daerah mengakselerasikan berbagai
program pembangunan yang berkelanjutan, sehingga konsep tesebut dapat
meminimalisir terjadinya politisasi rencana pembangunan daerah.
Daerah diberikan
hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa; kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah
sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan
mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil
dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan
lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber
pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan
tersebut, dalam hal ini pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip uang
mengikuti fungsi.
Di dalam
Undang-Undang yang mengatur Keuangan Negara, terdapat penegasan di bidang
pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan
negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku
kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Ketentuan
tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa
Kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) adalah pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah dan bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai
bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaannya,
kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan keuangan daerah
kepada para pejabat perangkat daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan
pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-Undang mengenai Pemerintahan
Daerah.
Sumber
pendapatan daerah terdiri atas:
1. Pendapatan asli daerah ( PAD), yang meliputi: (a) hasil
pajak daerah; (b) hasil retribusi daerah; (c) hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan; dan (d) lain-lain PAD yang sah;
2. Dana perimbangan yang meliputi: (a). Dana Bagi Hasil;
(b). Dana Alokasi Umum; dan (c). Dana Alokasi Khusus; dan
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pemerintah
daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang
luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah pusat setelah memperoleh
pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan
modal pada suatu Badan Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta. Pemerintah
daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan
kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman
pada peraturan perundangundangan.
Anggaran
pendapatan dan belanja daerah ( APBD) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan
dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung
mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Kepala daerah mengajukan
rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya
kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama. Rancangan Perda provinsi
tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur
tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga)
hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Rancangan Perda
kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan
Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh
Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk
dievaluasi.
Semua penerimaan
dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan dalam APBD dan dilakukan
melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah.
Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Perda yang
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
BAB
III
PENUTUP
Sebagai kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa, pertama, birokrasi akan selalu terkait dengan
politik dan kekuatan politik; dalam hal ini politik diartikan sebagai kekuasaan
untuk membuat keputusan, sedangkan kekuatan politik adalah semua agresi politik
yang berwujud partai politik. Untuk menghindari axioma politik yang menya-takan
bahwa "jika birokrasi lemah, maka kekuatan politik bisa kuat dan
sebaliknya, bila kekuatan politik lemah, maka birokrasi akan menjadi kuat",
maka kedua-duanya perlu diberikan peran yang lebih aktif. Artinya kita tidak
ingin bersikap terlalu dikotomis dalam melihat antara peran administrasi/
birokrasi dengan peran kekuatan politik. Sebab jika birokrasi hanya diberi
tugas untuk melaksanakan kebijakan politik tanpa dilibatkan dalam proses
pembuatan kebijakan, dikawatirkan mereka tidak akan mempunyai rasa tanggung jawab
dan rasa ikut memiliki segala kebijakan yang diembankan kepadanya untuk
diimplementasikan. Karenanya kadang muncul perilaku birokrat yang birokratis,
menghambat, sabotase, frustasi, inefisiensi dan sebagainya.
Kedua, birokrasi
pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar muncul perasaan tanggung
jawab dan sekaligus akuntability, responsibility terhadap serta bisa meneguhkan
posisi birokrasi di hadapan mereka. Dan untuk menghindari munculnya the
authoritarian birokrasi, maka kontrol yang kuat harus benar-benar dilakukan
oleh kekuatan sosial dan politik yang ada juga dari lembaga legislatif agar
birokrasi pemerintah tidak merasa kebal kritik, merasa tidak pernah salah,
arogan dan sebagainya.
Ketiga, Upaya menata
ulang birokrasi
atau dengan katalain mereformasi
birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi
masyarakat dan negara. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi
menjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah
langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi.
Dimana pada langkah
internal: 1) Meluruskan orientasi. Artinya reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi
dan bukan pada kekuasaan. Perubahan
birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus
bermuara pada pelayanan masyarakat. 2) Memperkuat komitmen, yaitu tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini
prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah
maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad
perubahan di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan
kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka
yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.3) Membangun kultur baru, yaitu kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif
seperti mekanisme dan prosedur kerja berbelit -belit dan penyalahgunaan status
perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi
dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya.4)
Rasionalisasi, yaitu struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak
efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan
agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan
serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat,
termasuk kemajuan teknologi informasi. 5) Memperkuat payung hukum; upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan
hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam
menjalankan perubahan- perubahan. 6) Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia.
Artinya semua upaya
reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai
sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk
mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan
sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan
peningkatan kesejahteraan.
Keempat reformasi birokrasi
dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di daerah perlu
dilakukan: a) Pelaksanaan otonomi daerah menuntut pembagian sumber daya yang
memadai. Karena selama ini pendapatan keuangan negara ditarik ke pusat,
sekarang sudah dimulai dan harus terus dilakukan distribusi lokal. Karena
terdapat kesenjangan dalam sumber daya lokal, maka power sharing mudah
dilakukan tapi reventte sharing lebih sulit dilakukan. b) Untuk memenuhi
otonomi, perlu kesiapan daerah untuk diberdayakan, karena banyak urusan negara
yang perlu diserahkan ke daerah. Kecenderungan swasta berperan sebagai pemain
utama, tentu memberi dampak kompetisi berdasarkan profesionalitas.
Kelima, melakukan upaya eksternal dalam menata ulang birokrasi, antara lain:
1) Komitmen dan keteladanan elit
politik;
yaitu reformasi birokrasi
merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami
tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan
menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang
patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpinpemimpin yang
berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah
keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.
2) Pengawasan masyarakat;
bahwa reformasi birokrasi
akan berdampak langsung pada masyarakat, karena peran birokrasi yang utama
adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk
mengawasi kinerja birokrasi.
Keenam; Sukses atau
gagalnya penataan pemerintahan yang baik dan peningkatan
kesejahteraan rakyat, cukup terkait
dengan kemampuannya untuk mengambil jarak terhadap kepentingan
politik elit/rezim/partai
politik. Bahwa sangat penting bagi pemerintahan daerah untuk
memposisikan diri sebagai institusi profesional yang pro terhadap kesejahteraan
rakyat dengan memasukan dua konsep strategis dalam dokumen rencana
pembangunan daerah, yaitu pro poor dan pro growth.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiman, Arif, 2001, Negara
dan Masyarakat Madani, dalam St. Sularto (ed), Masyarakat Warga dan
Pergulatan Demokrasi, Jakarta ; Penerbit Buku Kompas, hal; 30-42.
Eko, Sutoro, 2003, Transisi Demokrasi Indonesia : Runtuhnya Rezim Orde
Baru, Yogyakarta, APMD Press.
Erb, Maribeth dan Priyambudi
Sulistiyanto. 2005. Introduction:
entangled politics in post-Suharto Indonesia, in Erb, Maribeth et.al (eds.)
Regionalism in Post Soeharto Indonesia, New York
Fahmi, Sudi.
2009. Hukum Otonomi Daerah. Kreasi
Total Media. Yogyakarta.
Widarta,
I. 2001. Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta.
Miftah Thoha, Prof, DR, MPA, 2003, Birokrasi & politik Indonesia,
Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada.
Mohtar Masoed, DR, 1997,
Politik, Birokrasi dan pembangunan, Jogjakarta, Pustaka Pelajar
Munir,
Badrul. 2002. Perencanaan Pembangunan
Daerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah.
Badan Penerbit BAPPEDA Propinsi NTB
Winarno, Budi, Prof, Dr,
MA,. 2007, Kebijakan Publik;Teori dan Proses, Yogyakarta, Medpress
(Anggota IKAPI).
Tag :
MAKALAH
0 Komentar untuk "OTONOM DAERAH"