Arti
Revolusi Mental
Mental dalam tulisan Mengartikan Revolusi Mental diartikan sebagai
“nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup”. Mental tidak
dipisahkan dari hal-hal material. Mental pelaku dan struktur sosial dilihat
berhubungan secara integral, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mental
pelaku dan struktur sosial dijembatani dengan memahami ‘kebudayaan’ (culture).[1] Corak
praktik, sistem ekonomi dan sistem politik merupakan ungkapan kebudayaan. Cara
berpikir, merasa dan bertindak (budaya) dibentuk oleh sistem dan praktik
habitual ekonomi politik. Dengan kata lain, ‘tidak ada ekonomi dan politik
tanpa kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa ekonomi dan politik‘.
Pemisahan keduanya hanya digunakan untuk kepentingan analitik.[2]
Istilah ‘mental’ adalah nama bagi genangan segala sesuatu
menyangkut cara hidup – misalnya: ‘mentalitas zaman’. Di dalam cara hidup ada
cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini, cara
berperilaku dan bertindak. Namun kerap muncul anggapan bahwa ‘mental’ hanyalah
urusan batin yang tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan cirri fisik
benda-benda dunia.
Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan
dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia
mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya,
daya-daya mental pun dibentuk dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi.
Kelenturan mental, yaitu kemampuan untuk mengubah cara berpikir, cara
memandang, cara berperilaku/bertindak juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran
antara emosi dan motivasi).
Karena itulah kita memakai istilah ‘mentalitas’ untuk menggambarkan
dan juga mengkritik “mentalitas zaman”. Ada mentalitas petani, mentalitas
industrial, mentalitas priyayi, mentalitas gawai (gadget), dsb. Mentalitas
priyayi tentu bukan sekadar perkara batin para priyayi, melainkan cara mereka memahami
diri dan dunia, bagaimana mereka menampilkan diri dan kepercayaan yang mereka
yakini, cara berpakaian, bertutur, berperilaku, bertindak, bagaimana mereka
memandang benda-benda, ritual keagamaan, seni, dsb.
Kebudayaan selain merupakan pola kebiasaan, juga merupakan
pandangan tentang dunia atau dalam kalimat yang digunakan oleh Karlina Supelli,
“kebudayaan juga punya lapis makna yang berisi cara masyarakat menafsirkan
diri, nilai dan tujuan-tujuan serta cara mengevaluasinya.” Di samping itu,
kebudayaan juga punya lapis fisik/material yang berupa karya cipta manusia.
Dalam praktek sehari-hari antara budaya sebagai pola kebiasaan, pandangan dunia
dan lapis fisik, tidak terpisah secara tajam. Sebagai contoh, selera dan hasrat
seseorang terbentuk dari kebiasaan yang diperoleh dari struktur lingkungan.[3]
Kekeliruan dalam memandang hubungan integral antara struktur, kebudayaan dan
pelaku akan melahirkan pendekatan serta anggapan yang keliru juga dalam
menyelesaikan masalah. Misalnya, muncul pernyataan publik “pendekatan ekonomi
dan politik sudah gagal, diperlukan jalan kebudayaan” atau “masalah kemiskinan
dan korupsi ialah perkara moral bangsa –kalau moral berubah, selesailah
masalah!”[4]
Revolusi mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Hal yang
dibidik oleh revolusi mental adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar
dalam mentalitas yang meliputi cara berpikir, cara merasa, cara mempercayai yang
semuanya ini menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari.
Pendidikan formal melalui sekolah dapat menjadi lokus untuk memulai
revolusi mental ini. pendidikan diarahkan pada pembentukan etos warga negara
(citizenship). Proses pedagogis membuat etos warga negara ini ‘menubuh’8 atau
dapat menjadi tindakan sehari-hari. Cara mendidik perlu diarahkan dari
pengetahuan diskursif (discursive knowlegde)9 ke pengetahuan praktis (practical
knowledge). Artinya, membentuk etos bukanlah pembicaraan teori-teori etika yang
abstrak, tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut memengaruhi tindakan
sehari-hari. Pendidikan diarahkan menuju transformasi di tataran kebiasaan.
Pendidikan mengajarkan keutaamaan (virtue) yang merupakan pengetahuan praktis.
Revolusi mental membuat kejujuran dan keutaamaan yang lain menjadi suatu
disposisi batin ketika siswa berhadapan dengan situasi konkret.
Pendidikan
di sekolah hanya salah satu kantung perubahan saja. Revolusi mental yang
menjadi gerakan berskala nasional perlu dilakukan di setiap kelompok-kelompok
di kehidupan sehari-hari. “transformasi sejati terjadi dalam kesetiaan bergerak
dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin.”[5]
Mengingat
dan Mengevaluasi
Berdasar
pada pengertian revolusi mental yang diberikan oleh Karlina Supelli tersebut,
penulis mencatat beberapa hal dalam pendidikan yang perlu diperbaiki berkenaan
dengan revolusi mental ini, yaitu:
1.
‘menghafal’ adalah Kunci Kesuksesan
Bagi
peserta didik ‘menghafal’ adalah ritual yang harus dilakukan menjelang ujian.
Dengan menghafal, maka pertanyaan dalam ujian akan dapat terjawab dengan baik
sehingga akhirnya mendapat nilai yang memuaskan. Memang tidak ada yang salah
dengan menghafal. Bahkan, ilmu pengetahuan tidak akan lahir tanpa usaha
menghafal dan mencatat suatu peristiwa alam atau sosial. ‘Menghafal’ menjadi
masalah apabila dilakukan tanpa mengetahui konsep yang sesungguhnya. Peserta
didik hanya menghafal rentetan kata dan kalimat tanpa tahu makna yang
sesungguhnya. Seorang mahasiswa yang mengikuti mata kuliah filsafat manusia,
misalnya, dapat saja menghafal definisi dimensi-dimensi dalam filsafat manusia
tanpa memahami maknanya. Dalam kehidupan sehari-hari ia tetap memandang manusia
secara parsial saja, sebagai penghasil uang, dengan melupakan dimensi sosial
manusia.
Bagaimana
merevolusi mental ‘ritual menghafal’ ini? Perlu ada perbaikan dalam metode
mendidik. Pendidikan dalam usaha revolusi mental berusaha ‘menubuhkan’
ajaran-ajaran yang diperoleh di sekolah agar sungguh dapat diterapkan dalam
praktek hidup. Pendidik perlu memberikan banyak contoh yang relevan, analisis
kasus, serta percobaan-percobaan di kelas. Contoh yang relevan, analisis kasus
dan percobaan membantu peserta didik untuk mendapatkan kunci-kunci penting
pemahaman tanpa kehilangan basis pada realitas. Pendidik seringkali melupakan
metode-metode memberikan praktek yang mengajak peserta didik berpikir, sebab
pendidik harus memenuhi tuntutan target materi yang harus tersampaikan dalam
pertemuan itu
.
2.
Nilai Ujian dan Ijazah adalah Inti dari Seluruh Proses Pendidikan
Masyarakat yang memandang ijazah sebagai tujuan pokok dari seluruh
proses pendidikan kehilangan makna dari pendidikan itu sendiri. Bersekolah,
bagi masyarakat yang demikian, adalah usaha untuk mendapatkan ijazah. Agar
mendapatkan ijazah dengan keterangan yang memuaskan, nilai-nilai ujian perlu
digenjot. Ijazah menjadi golden ticket untuk meneruskan perjuangan hidup
berikutnya. Ijazah digunakan untuk melamar pekerjaan dan mendapatkan jabatan
sehingga kesejahteraan hidup pun terjamin. Apa bahaya dari pandangan yang
terlalu ‘gila ijazah’ ini?
Pendidikan, dalam masyarakat yang demikian, tidak lagi merupakan
usaha untuk membuat manusia yang sungguh menjadi manusia. Nilai ujian dan
ijazah dikejar demi nilai ujian itu sendiri. Nilai ujian dan ijazah bukan lagi
menandakan kualitas dari peserta didik. Pendidik dan peserta didik sama-sama
dituntut untuk menjalani pendidikan sekedar sebagai formalitas untuk memperoleh
nilai yang baik, lalu segera lulus dan mendapatkan ijazah. Dosen yang
membutuhkan waktu lama untuk membimbing satu skripsi, misalnya, tidak jarang
dianggap terlalu kolot dan didesak segera meluluskan mahasiswa tersebut dengan
kemampuan yang seadanya.
Revolusi terhadap mental ‘gila ijazah’ ini memang tidak mudah sebab
perbaikan tidak hanya melibatkan sistem pendidikan melainkan juga sistem
ekonomi dan politik. Sistem penilaian dalam pendidikan perlu dibuat agar tidak
terlalu mementingkan kuantitas. Lapangan pekerjaan juga perlu diperluas agar
orang tidak khawatir akan kesempatan yang ia dapatkan untuk mengembangkan diri
di suatu lapangan pekerjaan tertentu. Dengan demikian, pendidikan yang ia
jalani juga sungguh berkualitas.
3.
Standarisasi nilai melalui Ujian Akhir Nasional
Ujian
Akhir Nasional (UAN) yang selama ini dilakukan menuai banyak kritik. UAN
dilakukan dengan alasan standarisasi kemampuan pelajar di seluruh Indonesia.
Pelaksanaan UAN memiliki asumsi dasar bahwa peserta didik berangkat dari modal
yang sama sehingga dapat mencapai standar kemampuan akademis tertentu yang
sama. Kenyataannya, peserta didik tidak memiliki modal yang sama. Mereka
memiliki modal pengetahuan, budaya, kualitas sekolah dan lingkungan masyarakat
yang berbeda. UAN sebagai standarisasi kemampuan akademis tidak lagi relevan
mengingat modal yang berbeda ini. Peserta didik di Jakarta tidak memiliki latar
belakang budaya, kualitas sekolah dan lingkungan serta kebutuhan yang sama
dengan peserta didik di makassar, sehingga standarisasi pun tak dapat
dilakukan. Syarat suatu perbandingan dapat dilakukan ialah hal-hal yang
diperbandingkan memiliki prinsip yang sama. Apabila tidak memiliki prinsip yang
sama maka terjadilah incommensurability.
4.
Pendidik menjadi Sekadar Memenuhi Formalitas Mengajar karena Tekanan Sistem
Pendidik
dalam menjalankan aktivitas mendidik tidak hanya berurusan dengan peserta didik
dan materi yang ingin disampaikan. Pendidik juga disibukkan dengan
borang-borang rencana pembelajaran dan target materi yang harus tersampaikan.
Target ini tentu berkaitan juga dengan UAN. Apabila target materi tidak
terpenuhi maka peserta didik terancam tidak lulus UAN. Apabila ada siswa yang
tidak lulus UAN, maka nama baik sekolah pun akan tercemar.
Sekadar memenuhi formalitas’ tidak hanya menjangkiti guru di sekolah
tetapi juga para dosen di perguruan tinggi. Berulang kali jenis borang rencana
pembelajaran berubah. Perubahan yang terjadi dalam kurun waktu satu setengah
tahun ini ialah dari Silabus dan SAP (Satuan Acara Perkuliahan) ke RPKPS
(Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester) lalu kini ke RPS (Rencana
Pembelajaran Semester). Dosen harus selalu menyesuaikan diri dengan perubahan
borang ini. Belum lagi ditambah sistem yang harus dipenuhi sebagai dosen yang
memiliki NIDN (Nomer Induk Dosen Nasional) begitu banyak dan rumit. Akhirnya
dosen lebih lancar sebagai pengelola administrasi ‘ke-dosen-an’ daripada
sebagai seorang pendidik.
5.
Orang Miskin Dilarang Sekolah
Bayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan
anak dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Puluhan bahkan ratusan
juta rupiah biaya yang dibutuhkan untuk mendukung pendidikan seorang anak.
Biaya ini tidak masuk akal bagi orang tua yang memiliki pendapatan tidak lebih
dari satu setengah juta rupiah per bulan, bahkan untuk yang berpenghasilan tiga
juta rupiah sekalipun. Tidak masuk akalnya biaya untuk pendidikan, membuat
banyak anak harus putus sekolah. Revolusi Mental dalam pendidikan perlu
didukung kebijakan politik dan ekonomi serta mekanisme agar pendidikan akhirnya
dapat diakses siapa saja di seluruh pelosok negeri ini. Apabila kartu indonesia
pintar jadi diterapkan,maka mekanisme pembagian serta penggunaanya perlu
dikawal agar dapat berfungsi dan tepat sasaran.
6.
Perbanyak Pelajaran Agama agar Perilaku Menjadi Baik
Pemberlakuan kurikulum 2013 mengundang kritik dari para pemerhati
pendidikan. Kurikulum 2013 memiliki tujuan besar untuk mengubah moral peserta
didik menjadi lebih baik. Kekeliruan dimulai ketika penerapan kurikulum 2013
dilakukan dengan memperbanyak ajaran agama. Anggapan bahwa ‘memperbanyak
pelajaran agama dapat mengubah perilaku menjadi baik’ berakar dari asumsi
pembedaan yang tajam antara budaya dalam bentuk yang immaterial (cara pikir,
merasa) dan material (tindakan, hasil karya cipta manusia). Tidak hanya
pembedaan bahkan stratifikasi. Unsur immaterial dianggap lebih tinggi daripada
unsur material. Penguasaan pelajaran agama dianggap pasti dapat mengubah
perilaku peserta didik.
Padahal
dalam kenyataan, penguasaan teoritik saja tidak menjamin nilai-nilai yang
dipelajari di sekolah menjadi cara berpikir dalam praktek hidup. Dalam revolusi
mental, perlu diupayakan perubahan asumsi dasar dalam memandang budaya.
Sebagaimana disarankan dalam tulisan Mengartikan Revolusi Mental, unsur budaya
sebagai pola kebiasaan, pandangan hidup dan lapisan fisik perlu dilihat secara
integral. Mengubah moral yang merupakan praktek hidup, perlu pembaruan
penafsiran kurikulum dan metode mendidik. Perubahan moral tidak selalu datang
dari pelajaran agama tetapi bisa juga dari pelajaran etika. Tentu saja
pelajaran etika yang dimaksud ialah pelajaran etika dengan pembaruan dalam
metode pengajaran, sehingga tidak terjebak lagi dalam menghafal teori-teori
etika.
7.
Semarak Khotbah dan Seminar yang Bertujuan Mengubah Moral
Melanjutkan
poin ke enam, perubahan moral juga tidak dapat terjadi dengan khotbah atau
seminar-seminar motivasi saja. Metode menyampaikan pelajaran etika dapat
dilakukan dengan cara bermain peran (role play). Gaya mengajar bermain peran
ini mendorong peserta didik untuk mendayagunakan pikiran, perasaan dan serta
tubuhnya dalam memahami suatu peristiwa yang melibatkan penilaian etis. Tentu
ini saja tidak cukup, untuk membuat nilai etis benar-benar menjadi praktek
hidup, kita perlu menjabarkan nilai dalam poin-poin terapan. Nilai Persatuan
Indonesia, misalnya, perlu dijabarkan menjadi beberapa poin terapan misalnya
sikap mengharagai keberagaman agama di sekolah dan lingkungan sekitar rumah dan
sikap menghormati logat masing-masing teman yang berbeda daerah. Menjabarkan
nilai dalam poin terapan saja tidak cukup yang lebih berarti lagi ialah
kesetiaan dalam melakukan nilai tersebut setiap hari.
8.
Pendidikan yang Tidak Sadar Keberagaman
Sekolah-sekolah
berbasis pendidikan inklusif perlu terus diupayakan. Diskriminasi dalam
pendidikan formal tidak jarang dimulai dari institusi pendidikan itu sendiri.
Bentuk bangunan, cara mengajar dan atmosfer pergaulan perlu disesuaikan dengan
prinsip-prinsip pendidikan yang inklusif. Pendidikan inklusif terbuka bagi
semua peserta didik dari berbagai budaya dan termasuk bagi para difabel.
Tersedianya sarana dan atmosfer pembelajaran yang inklusif membuat peserta
didik belajar untuk menghargai perbedaan dan tidak bersikap rasis serta
fundamentalis ekstrem.
9.
Pendidikan yang Apolitis
Teori-teori di sekolah yang terpisah dari praktek, membuat peserta
didik tidak menyadari bahwa ada masalah dalam kehidupan sehari-hari yang perlu
diselesaikan. Ilustrasi-ilustrasi dalam pelajaran di pendidikan formal tidak
pernah memantik keberanian sikap politis peserta didik. Peserta didik dibuat
lupa bahwa segala yang ia nikmati termasuk dapat mengenyam pendidikan di
sekolah merupakan hasil dari tindakan politis. Bahkan, harga nasi dan telur
sarapan mereka pun hasil dari tindakan politis. Pendidikan yang tidak pernah
menyentuh sisi politis melupakan bahwa “budaya tanpa sistem ekonomi dan politis
tidak mungkin, demikian juga sebaliknya”. Pendidikan juga demikian. Pendidikan
yang apolitis menjadi tidak relevan sebab pendidikan dan politik saling
mengandaikan satu sama lain, satu sama lain saling mempengaruhi.
10.
Kurangnya Kantung-Kantung Pendidikan di Lingkungan
Setiap kelompok masyrakat perlu mengupayakan agar pendidikan tidak
menjadi elitis. Bagaimana caranya? Perlu diusahakan kelompok-kelompok
pendidikan informal di lingkungan tempat tinggal. Kelompok-kelompok belajar dan
sanggar-sanggar kesenian bagi anak-anak, yang bersifat tidak berbayar perlu
diselenggarakan agar pendidikan dapat dirasakan bagi siapa saja. Selama ini,
sebenarnya banyak pendidikan informal yang kreatif dengan metode pengajaran
yang mengembangkan potensi peserta didik, tetapi biaya untuk masuk ke tempat
pendidikan seperti itu juga tidak murah.
11.
revolusi mental perlu keteladan
Menurut pemahaman kami, revolusi mental adalah kembalinya kepalsuan
dan kemunafikan kepada kejujuran serta kembalinya keserakahan hawa nafsu kepada
hidup yang halal. Bergantinya egoisme ke sifat gotong royong untuk kemaslahatan
bangsa dan negara.
Revolusi mental harus berpengaruh kepada perilaku politik, pendidikan,
hukum, ekonomi, dan budaya. Revolusi mental memerlukan keteladanan sistem
kenegaraan yang sehat serta pendidikan yang cukup dan tingkat ekonomi rakyat
yang memadai.
Indonesia sudah 69 tahun merdeka, sementara umur Bapak sudah
mencapai 70 tahun. Apakah momentum atau peristiwa apa yang paling diingat dan
berkesan yang pernah dirasakan dalam bidang perpolitikan Indonesia?
Seringnya terjadi keguncangan ketika terjadi perubahan pemerintah
dan rezim yang berakibat korban untuk rakyat banyak. Maka pada arah yang akan
datang, pergantian pemerintah dan rezim haruslah merupakan perjalanan dari
langkah ke langkah bukan dari konflik ke konflik. Rezim yang berkuasa tidak
menyalahkan rezim terdahulu, yang berkuasa sekarang pun akan segera berlalu.
12.
Pandangan Tokoh Pendidikan mengenai REVOLUSI MENTAL
Tokoh Pendidikan Indonesia, Prof.
Dr. Arif Rachman mengatakan, ide Revolusi Mental yang diusung Capres Jokowi,
sebenarnya bertentangan dengan prinsip pendidikan.
Bagi
Arif, Revolusi Mental tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia.
"Untuk
Revolusi Mental Jokowi, saya terus terang saja, mental itu jangan direvolusikan
lah. Mental itu secara didaktif, itu evolusi bukan revolusi,"ujar Arif,
sesusai buka puasa bersama dengan Hatta Rajasa, di Kediaman Probosutedjo.
Duta Pendidikan Indonesia untuk UNESCO itu menambahkan, tidak bisa
mempercepat atau merevolusi mental seseorang. Bagi dia, itu tidak masuk akal.
"Boleh
dikatakan Revolusi Mental itu bertentangan dengan prinsip pendidikan,"
imbuhnya.
Dia menghargai ide Revolusi Mental Jokowi. Namun, dengan mengusung
ide itu, justru tidak bagus bagi bangsa. Mungkin idenya baik, tapi
metodelogisnya keliru atau salah
Tag :
ARTIKEL
1 Komentar untuk "Refolusi Mental dalam Perspektif Pendidikan Islam"
How many slots are there? - DrmCD
We have some info that has 하남 출장마사지 you covered 부천 출장마사지 with 통영 출장마사지 some 제주 출장샵 info that includes casino bonuses. 순천 출장마사지 that is, slots with an attractive amount of cash, free slots.